UNTUK AMALAN PUASA SUNNAH : Dari berbagai riwayat dan pendapat, ada 4 Cara Menyikapi Puasa ‘Asyura:
- Berpuasa tiga hari pada 9, 10, dan 11 Muharram.
- Berpuasa pada hari 9 dan 10 Muharram.
- Berpuasa pada hari 10 dan 11 Muharram seandainya pada tanggal 9 Muharram nya tidak berpuasa.
- Berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) saja, sebagian saja ulama memakruhkannya karena Nabi saw, memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makruh).
PENJELASANNYA:
(1) BERPUASA 9,10, dan 11 Muharram
“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan SELISIHILAH orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi.
Didhaifkan oleh As Syaikh Al-Albany di Dha’iful Jami’. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma’al): “Ini adalah derajat yang paling sempurna.” Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:”Inilah yang utama.”
Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani dalam Nailul Authar dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan.
Namun ulama-ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.
Meskipun hadits tersebut dha’if, tetapi secara umum boleh diamalkan jika itu HANYA TERKAIT FADHILAH AMAL yang tidak menyangkut aqidah dan hukum.
Inilah tiga syarat penting diperbolehkannya beramal dengan hadits-hadits dha’if dalam keutamaan amal;
– Hadits itu tidak sampai derajat maudlu’ (=palsu).
– Orang yang mengamalkannya ‘mengetahui’ bahwa hadits itu adalah dha’if.
– Tidak memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan hadits shahih.
(2) BERPUASA 9 dan 10 Muharram
MAYORITAS HADITS menunjukkan cara ini. Juga pada Kitab Hadits Riyadhus Shalihin pun hanya dibahas mengenai puasa 9 dan 10 Muharram, dan tidak dikutip dalil satu pun tentang puasa 11 Muharram di sana.
(3) BERPUASA 10 dan 11 Muharram
“Berpuasalah pada hari Asyura dan SELISIHILAH orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.”
Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada illat (cacat). Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49): “Dalam sebagian riwayat disebutkan “atau sesudahnya” maka kata ‘atau’ di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan….”
Al-Hafidz berkata dalam Fathul Baari: “Dan ini adalah akhir perkara Rasulullah saw., dahulu beliau suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka MENYELISIHI AHLI KITAB SEBAGAIMANA DALAM HADITS SHAHIH. Maka ini (masalah puasa ‘Asyura) termasuk dalam hal itu. Bisa menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab.”
(4) BERPUASA 10 Muharram saja
DO’A ASSYURAA / 10 MUHARAM
Mari manfaatkan momen hari ‘Asyura, hari yang penuh keutamaan dan kemuliaan dengan memanjatkan doa.
“Hasbunallahu wani’mal wakiilu ni’mal maulaa wani’man nashiiru, Subhanallahi mil-al miizaani wa muntahal ‘ilmi wa mablaghar ridhaa wazinatal ‘arsyi, Laa malja-a walaa manja-a minallahi illa ilaihi subhaanallahi ‘adadasy syaf’ir wal witri, Wa ‘adada kalimaatillahittaammaati kulliha nas-alukas salaamata birahmatika yaa arhamar raahimina, Walaa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiimi, Wa huwa hasbuna wa ni’mal wakiilu ni’mal maulaa wa ni’man nashiiru, Wa shallalahu ‘alaa sayyidina muhammadin wa ‘alaa aalihi washahbihii wasallam”.
Artinya:
“Cukuplah Allah menjadi sandaran kami, dan Dia sebaik-baik Pelindung, sebaik-baik kekasih, dan sebaik-baik Penolong. Maha Suci Allah sepenuh timbangan, sesempurna ilmu, sepenuh keridhaan dan timbangan ‘arsy. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari Allah, kecuali hanya kepada-Nya. Maha Suci Allah sebanyak bilangan genap dan ganjil, dan sebanyak kalimat Allah yang sempurna, kami memohon keselamatan dengan rahmat-Mu wahai Dzat Yang Paling Penyayang diantara semua yang penyayang. Dan tiada daya upaya dan kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Dan Dialah yang mencukupi kami, sebaik-baik Pelindung, sebaik-baik kekasih, dan sebaik-baik Penolong. Semoga rahmat dan salam Allah tetap tercurah kepada junjungan kami Nabi Muhammad, teriring keluarga dan sahabat beliau.”
DOA HAJAT :
Laa ilaha illallohul haliimul kariimu subhaanallohi robbil ‘arsyil ‘azhiim. Alhamdu lillaahi robbil ‘aalamiin. As `aluka muujibaari rohmatika wa ‘azaaima maghfirotika wal ghoniimata ming kulli birri wassalaamata ming kulli itsmin Laa tada’ lii dzamban illa ghofartahu walaa hamman illaa farojtahu walaa haajatan hiya laka ridhon illa qodhoitahaa yaa arhamar roohimiin.
Artinya :
Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Lembut dan Maha Penyantun. Maha Suci Allah, Tuhan pemelihara Arsy yang Maha Agung. Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Kepada-Mu-lah aku memohon sesuatu yang mewajibkan rahmat-Mu, dan sesuatu yang mendatangkan ampunan-Mu dan memperoleh keuntungan pada tiap-tiap dosa. Janganlah Engkau biarkan dosa daripada diriku, melainkan Engkau ampuni dan tidak ada sesuatu kepentingan, melainkan Engkau beri jalan keluar, dan tidak pula sesuatu hajat yang mendapat kerelaan-Mu, melainkan Engkau kabulkan. Wahai Tuhan Yang Paling Pengasih dan Penyayang.
LAFAZ NIAT PUASA
Lafadz Niat Puasa Tasu’a (puasa 9 Muharram)
NAWAITU SAUMA TASU’A SUNNATALILLAHI TA’ALA
Artinya : “Saya niat puasa hari Tasu’a, sunnah karena Allah ta’ala.”
Lafadz Niat Puasa Asyuro’ (puasa 10 Muharram)
نويت صوم عشر سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA ‘ASYURA SUNNATAN LILLAHI TA’ALA
Artinya : “Saya niat puasa hari ’Asyura , sunnah karena Allah ta’ala”.
(Niat letaknya di hati, melafadzkan untuk menuntun hati).
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Maka pandangan mayoritas kaum muslimin Ahli Sunnah wal Jamaah tentang keutamaan dan kemuliaandibulan‘asyura, adalah dengan memanfaatkan momen utama ini diisi dengan memperbanyak dan mempertebal ibadah serta perbuatan amal shalih lainnya seperti yang dijabarkan dalam tabel amalan Muharam diatas.
Sedangkan pandangan bagi kaum Syi’ah dalam satu sisi sama dengan pandangan kaum Sunni dalam hal keutamaan dan kemuliaandibulan‘asyura, hanya yang membedakannya adalah tata cara menyikapi hari ‘asyura, bagi kaum Syi’ah memandangnya sebagai hari kesyukuran sekaligus sebagai hari berduka atas gugurnya cucu Rasulullah Saw Sayyidina Hassan dan Husein di padang Karbala pada 10 Muharram tahun 61 Hijriyah, bertepatan 10 Oktober 680 Masehi. Yang dibunuh oleh militer Khalifah Bani Umayyah, yang dipimpin jenderal Yazid bin Muawiyah yang membawa dampak sangat besar dalam sejarah perkembangan Islam, di satu sisi hati umat Islam merasa tersayat atas perbuatan Yazid yang tidak bertanggung jawab tersebut, dan di sisi lain menimbulkan rasa haru dan kagum terhadap Imam Husein, terutama bagi pengikut keluarga Ali bin Abi Thalib (alawiyah).
Rasa haru dan duka itulah yang mendorong kaum Syiah untuk memperingati hari‘asyura yang pada mulanya diperingati secara sederhana yaitu dengan berziarah ke tempat peristiwa berdarah tersebut, tetapi lama kelamaan peringatan itu membudaya dan menjadi perayaan besar-besaran dengan memakai pakaian berkabung dan mulai melampaui batas, dengan melukai badan mereka sendiri, memukul-mukul dada, mengiris kepala mereka dan anak-anak mereka dengan pisau. Ini dilakukan oleh Syi’ah Imamiah dan Rafidhah dan adalah merupakan keistimewaan tersendiri bagi mereka yang dapat berdomisili dekat makam Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib, mereka melumurkan seluruh tubuh mereka dengan lumpur, dari tanah yang ada di sekitar makam Al-Husein, karena menurut mereka tanah tersebut mempunyai keistimewaan (sumber: http//dhr 12.com/?a=257), (sumber: http//dhr 12.com/?a=257).
Perbuatan Jahiliyah yang mereka lakukan itu tidak ada hubungan sama sekali dengan Islam. Nabi Muhammad Saw bersabda:Tidak termasuk golongan kami orang-orang yan menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalkan Jahiliyah (HR. Bukhari no.1294 dan mUslim no.103).
Ibnu Qudamah berkata: Jika ada orang yang melakukan amal yang mengandung nilai “kebaikan/ibadah” maka hal tersebut diperbolehkan, seperti shalat nawafil atau mengerjakan shalat shalat sunah yang membarengi momen hari/bulan utama dan atau Fadhoilul A’maal, maka tidak disyaratkan harus dengan berlandaskan hadits shahih” (Al-Mughny 2/33)
Maka secara marak tradisi bahwa memperingati hari ‘asyura mulai diperingati sejak setahun setelah tragedi Karbala yaitu pada 10 Muharram tahun 62 Hijriyah, atau pada tahun 681 Masehi. Namun secara hakekat bahwa Rasulullah SAW telah melakukan peringatan ‘asyura ini dengan melaksanakan puasa dan melakukan amal shalih lainnya serta memperbanyak ibadah yang berkaitan dengan keutamaan bulan Muharam.
‘Ala kullihal, hari ‘asyura merupakan hari yang utama dan mulia dalam nilai nilai Islam sekaligus hari tragedi dalam sejarah politik Islam atas pembantaian cucu Rasulullah Saw Al-Hasan dan Husein di Karbala. Oleh sebab itu, umat Islam dianjurkan untuk merespon/mentadzaburi hari yang dimuliakan Allah Swt tersebut dengan berpuasa serta melakukan amal shalih lainnya, memperbanyak ibadah namun dilarang merayakannya dengan cara ikut ikutan yang jahil, bathil , berbuat dzalim menyiksa diri dan anggota keluarga sendiri dan sebagainya.
silahkan komentar