A.PENGERTIAN TERORISME
Meskipun banyak definisi tentang terorisme, namun saya mengambil pengertian terorisme yang mengacu pada Perpu Nomor 1 Tahun 2003, yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah: ”setiap tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional” Seseorang dalam pengertian di atas dapat bersifat perorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi.
Menurut Muhammad Mustofa dalam bukunya memahami terorisme, kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis yaitu le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata Terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.
B.SEJARAH TERORISME
Menurut Loudewijk F. Paulus Sejarah tentang Terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian ( sumur bor jogja) berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah Terorisme modern.
Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang ditunjukkannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.
Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa Terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.
Bentuk pertama Terorisme terjadi sebelum Perang Dunia II, Terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun 60an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:
1. kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.
2. pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalis setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.
3. kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.
Namun Terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan. Pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal “damai”. Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur – Barat dan menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik Utara – Selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak Negara Berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya Terorisme. Fenomena Terorisme meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan Teror telah berkembang dalam sengketa ideologi yang telah mengakar,dan doktrin-doktrin teologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya.
Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:
1. ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
2. keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin.
3. tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme yang sudah dilakukan.
4. serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.
B.FAKTOR PENDUKUNG TERJADINYA RADIKALISME DAN TERORISME
Bila dicermati secara mendalam akar penyebab munculnya aksi terorisme sangat rumit dan kompleks. Berbagai muktifaktorial yang menyangkut masalah transnasional dan kehidupan politik dunia bisa jadi penyebab dan pemicu terjadinya terorisme. Secara umum muktifakktorial yang terjadi adalah faktor ketidakadilan itu terjadi di berbagai belahan dunia baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Berbagai faktor ketidakadilan tersebut akan memicu faktor radikalisme. Radikalisme akan dipermudah oleh rendahnya pendidikan, kemiskinan, budaya, dan kehidupan sosial. Keterbelakangan pendidikan, perubahan politik, kemiskinan atau rendahnya peradaban budaya dan sosial seseorang akan memicu radikalisme yang berujung pada kekerasan, ekstrimisme dan terorisme. Semua agama apapun di dunia ini, termasuk agama Islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama yang penuh toleransi. Melihat kompleksitas permasalahan tersebut tampaknya terorisme bukan semata-mata masalah agama, melainkan masalah seluruh umat manusia dalam berbagai aspek.
Terorisme tergolong sebagai sebuah bentuk kejahatan, bahkan dapat dikatakan kejahatan yang terorganisir. Terorisme tentu bukan sesuatu yang muncul dari ruang hampa. Dia memerlukan kultur tertentu untuk tumbuh. Meskipun banyak faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya terorisme, namun ada beberapa hal yang paling mendasar yang menyebabkan terjadinya terorisme, diataranya adalah Ideologi dan teologi. Kedua faktor tersebut merupakan hal yang paling fundamental dalam pergerakan terorisme, kerana ideologi dan teologi adalah alasan untuk seseorang dalam melakukan tindakan radikal yang menguntungkan kelompoknya sendiri, tentu saja dalam sebuah aksi terorisme mereka sangat memerlukan anggota, oleh sebab itulah melalui doktrin-doktrin radikalisme dan terorisme yang mereka ajarkan pada para anggota yang mereka rekrut.
A. TERORISME SEBAGAI IDEOLOGI
Ideologi merupakan sebuah kekuatan ide yang mendasari seseorang untuk berbuat. Dalam perspektif ideologi teroris ini, masalah utama yang berkaitan dengan organisasi ekstrimis beranggapan bahwa terorisme itu bermanfaat. Para ektrimis mencari suatu perubahan radikal di alam status quo yang akan memberikan manfaat baru atau sebagai bentuk mekanisme bertahan terhadap hak istimewa yang dianggap sebagai ancaman. Ketidakpuasan terhadap politik pemerintah juga menjadi alasan pembenaran perilaku terorisme.
Pemahaman Ajaran Agama Yang Tekstual
Setidaknya ada empat penyebab adanya ideologi kekerasan dan terorisme. Pertama, adanya beberapa ajaran dalam agama yang disalahpahami. Dalam Islam ada ajaran jihad dan mati syahid, yang dianggap membenarkan aksi-aksi keras teroris.
Padahal, jihad dan mati syahid tidak seperti yang teroris pahami. Jihad adalah prinsip perjuangan suci yang tidak selalu berarti perang fisik. Kalaupun terjadi perang fisik, jihad memiliki aturan dan mekanisme baku amat ketat, seperti tidak boleh membunuh anak-anak dan perempuan, tidak boleh merusak rumah ibadah dan fasilitas umum termasuk hotel.
Begitu juga dengan konsep mati syahid. Ajaran ini merupakan penghormatan puncak dari Tuhan kepada mereka yang menegakkan ajaran-Nya dengan cara-cara luhur, bukan dengan cara kekerasan hina seperti bom bunuh diri.
Kesejahteraan Yang Tidak Kunjung Datang
Hal yang lebih menyakitkan adalah persoalan kesejahteraan, terutama pada era politik kebusukan para elite seperti sekarang. Mereka yang berada di jajaran elite—pejabat, politisi, dan lainnya—begitu mudah mendapatkan uang dalam jumlah ratusan juta, miliaran, bahkan triliunan. Adapun rakyat biasa sangat susah menutupi segala kebutuhan sehari-hari. Padahal, kemiskinan atau kesengsaraan akan membuat seseorang melakukan apa pun walaupun itu jelas terlarang
Dengan demikian, pemberantasan terorisme harus juga menyentuh persoalan ketidak-adilan negara ini. Sangat tidak cukup bila pihak kepolisian hanya terus memburu, meringkus, dan membunuh para teroris, sementara persoalan hukum, pendidikan, dan kesejahteraan hanya jadi materi kampanye pemilu.
Ideologi Negara Agama
Ketiga, ideologi negara agama. Pada tahap tertentu ideologi negara agama turut menyuburkan paham terorisme. Karena sebagaimana diakui para teroris, mereka menjalankan semua aksinya dengan tujuan mendirikan negara agama. Bagi mereka, pemerintahan yang ada saat ini (termasuk Indonesia) mengikuti sistem kafir.
Kecenderungan salafisme
Ideologi negara agama terus bertahan karena mengendap di balik kecenderungan salafisme di kalangan pemeluk agama. Salafisme adalah kecenderungan yang membayangkan masa lalu sepenuhnya suci, ideal, sempurna, tanpa kekurangan apa pun. Pada era suci inilah negara agama diyakini pernah ada dan berdiri tegak dengan nilai-nilai luhur yang dipraktikkan paripurna.
Perjuangan para teroris dan teman-temannya ini menimbulkan persoalan sangat serius. Bukan hanya karena secara normatif tidak ada ajaran yang membakukan sistem pemerintahan dalam Islam, tetapi lebih daripada itu karena perjuangan negara agama akan mengalami benturan dan memakan banyak korban, terutama di era negara-bangsa seperti sekarang.
Maka, pemberantasan terorisme harus dimulai dengan membasmi keempat ideologi di atas. Bila tidak, terorisme tidak akan pernah selesai walaupun sudah ratusan atau bahkan ribuan teroris ditangkap dan ditembak mati oleh polisi. Justru jika teroris itu ditembak mati oleh polisi tidak akan membunuh ideologi teroris yang kian mengakar, mungkin para terorisnya telah lenyap tetapi idologi teroris merak tidak akan pernah lenyap, oleh sebab itu idologilah yang menjadi hal yang paling fundamental dalam melenyapkan paham teroris dimuka bumi ini
Para praktisi teroris seringkali mengklaim bahwa tidak ada pilihan lain selain terorisme meski kadangkala tidak jarang menemui kegagalan dalam aksi teror tersebut. Dalam pandangan teroris rakyat tidak mungkin mendukung apalagi dalam kapasitas sebagai organisasi penentang karena takut terhadap sanksi negatif dari dari sebuah rezim yang berkuasa. Disinilah sebuah keuntungan teroris dimana dalam pandangan ekstrimis memiliki peran yang sangat bermanfaat dibalik kekerasan yang diartikulasi secara cerdas untuk perubahan politik dan agenda penyelamatan kepentingan publik. Perkembangan yang paling menarik terkait dengan aksi terorisme adalah pembenaran perilaku dengan berdalih agama. Aktivis teroris menganggap sebagai jalan suci sehingga apapun yang dilakukan dapat dibenarkan dalam pandangan teologis.
Dan sama dengan yang lainnya bahwa tindakan Terorisme adalah sebuah ideologi yang mengakar dan telah berkembang. ia tidak bekerja sendiri, terlepas dari satu kejadian dengan kejadian yang lain. Ia terkait satu sama lain. Ia mempunyai landasan hidup, butuh alasan untuk hidup dan habitat yang tepat untuk bisa survive.
Dalam sejarah, teror selalu muncul dalam berbagai bentuk. Nero pada zaman Romawi, kemudian di Perancis dalam bentuk pemerintahan Robespierre berlanjut dengan Hitler dan Nazi-nya, Pol pot dengan rezim Khmer Merahnya hingga berbentuk kekerasan sektarian seperti di Irlandia Utara, Tamil di Srilanka dan banyak bentuknya di seluruh dunia.
Jika kita merunut ke akar sejarah tadi, maka akan nampak jelas bahwa akar dari teror tadi adalah ideologi kekerasan atau radikalisme. Maka seperti ideologi lainnya, ia punya alasan untuk tumbuh dan berkembang.
Marx dan Engel membangun ideologi Marxian-nya atas dasar dialektika materialis, Adam Smith sebagai bapak ideologi Kapitalis atas dasar kebebasan individu dalam segala hal lantas ideologi teror pun juga mempunyai alasan dan dasar mengapa ia harus tumbuh.
Teror lahir sebagai penolakan atas ideologi lain yang lebih dulu muncul akan tetapi dianggap tidak sanggup memecahkan 3 segala problematika yang ada.Masalah seperti ekonomi, sosial hingga masalah yang bersifat religius akhirnya seakan menjadi pupuk bagi tumbuhnya ideologi yang bersifat kekerasan.
Kembali ke kasus terorisme di Indonesia, penangkapan kemudian lantas menjebloskan pengikut atau malah menembak mati para gembong kelompok yang dianggap teroris tentu bukan solusi jangka panjang bagi pemberantasan terorisme.“Mati satu tumbuh beribu” mungkin tepat untuk menggambarkan betapa pendekatan kekerasan hanya akan menambah militansi bagi pihak-pihak yang dianggap terorisme. Tembak mati dan penjara alih-alih membuat jera akan tetapi malah menjadi justifikasi kebenaran dalil yang mereka anut.
Paham teror atau terorisme tetaplah harus dipandang sebagai akibat dari sebuah ideologi dan bukan dipandang sebagai sebuah kejahatan pidana biasa. Mungkin jika untuk tindak pidana umum, adagium “menghukum pencuri Ayam agar tidak ada lagi Ayam yang dicuri” bisa diterapkan. Tetapi untuk kasus seperti terorisme mungkin pendekatan yang lain perlu ditempuh.
Kata-kata petinggi Partai Komunis Indonesia ketika akan dihukum mati yang menyatakan bahwa:”PKI sebagai partai mungkin bisa mati namun Komunis sebagai ideologi tidak akan bisa mati patut direnungkan”.
Ideologi selamanya tidak akan mati. Bagaimanapun usaha untuk menghapusnya dari sejarah manusia, sekeras itu pula lah ideologi akan bertahan. Ideologi bukanlah cacar yang dengan vaksin sekian tahun akan sanggup dibasmi dari muka bumi.Jadi sudah saatnya pola pendekatan dalam penanganan terorisme berubah bukan hanya sekedar pendekatan legal formal melainkan lebih ke arah pendekatan yang humanistik.Dengan demikian, diharapkan iklim yang menyuburkan paham teror terreduksi atau malah tereliminasi. Tapi jka yang terjadi sebaliknya, yang digunakan adalah pendekatan legal formal, rasanya pendekatan seperti itu hanya akan melestarikan lingkaran kebencian. Sudah saatnya kita memulai dengan cakrawala pandang yang baru mengenai lingkungan kita.
B.TERORISME SEBAGAI TEOLOGI
Terorisme menjadi momok yang sangat menakutkan pasca serangan WTC 11 September 2001 yang lalu, kalau kita perhatikan sejarah Islam klasik (tempo dulu) kelompok ini sangat identik dengan sekte Khawarij .
Lukman bin Muhammad Ba’abduh, penulis buku Mereka Adalah Teroris yang isinya adalah ajaran-ajaran fiqh politik,dan dia menjalsakan teologi dan identitas terorisme serta ciri-ciri dari para terorisme tersebut:
• Ciri-ciri kepribadian mereka:
1. Sangat Fanatik kelompok
2. Berasal dari kampung atau desa
3. Berpendidikan rendah
4. Berpegang teguh makna lahiriyah (tekstual) soal jihad;
5. Ketat dalam beribadah
6. Terdiri dari pemuda-pemuda
7. Sangat berani mati
8. Menentang kekuasaan pemerintah yang ada
9. Suka membawa Al-Qur’an
10. Keras dan beringas
11. Kuat solidaritas sesama
12. Slogan-slogan keimanan: ”Allahu Akbar”; dan
13. Fanatisme buta.
• Ciri-ciri pemikiran politik dan teologi mereka:
1. Setiap muslim harus mengikuti cara dan gaya hidup mereka;
2. Harus menghindar dari pemerintah
3. Khalifah dipilih secara bebas
4. Khalifah tidak harus Jawa
5. Khalifah permanen dari kalangan mereka;
6. Orang yang bersekutu dengan AS, Inggeris, Australia adalah kafir
7. AS, Inggeris, dan Australia adalah kafir yang harus dibasmi
8. Menentang AS dan sekutunya adalah jihad
9. Memutarbalikan nash, dan data keagamaan
10. Manusia bebas melakukan apa saja dalam rangka memerangi AS dan sekutunya
11. Pemimpin Negara sebelum dan sesudah masa kini batil
12. Pemimpin Negara haruslah Khalifah bukan Presiden, dan
13. Demontrasi, penculikan, intimidasi, anarkisme, peledakan, dan teror fisik dan pemikiran.
Semoga dengan mengenal ciri-ciri kelompok irhabiyyah secara utuh seperti tersebut di atas umat Islam akan mampu membentengi diri dan generasi muda Islam dari virus-virus terorisme yang sangat berbahaya. Umat Islam harus yakin bahwa kemenangan Islam pada era akhir zaman ini hanya akan mungkin dicapai apabila Islam dengan segala aspek keindahan dan keluhuran nilai ajaran yang dibawanya diperjuangkan melalui budaya cinta kasih, demokratis, tanpa paksaan dan kekerasan sesuai dengan isyarat Yang Mulia Rasulullah SAW. tentang kedatangan Al-Masih Isa ibn Maryam atau yang terkenal dengan Al-Masih Al-Mau’ud yang diterangkan dalam hadits-hadits Nabi SAW. secara mutawatiri. Kenapa Yang Mulia Rasulullah SAW. tidak menyebut orang yang dijanjikan oleh beliau akan memenangkan Islam di akhir zaman ini sebagai Musa atau Daud? Ini semua adalah isyarat ilahiyah bahwa Islam periode akhir zaman ini akan diunggulkan kembali bukan melalui gerakan Islam politik atau kekuasaan teritorial. Allah Ta’ala akan membuktikan bahwa tanpa melalui peperangan atau kekuasaan politik sekalipun, Islam akan tetap unggul dan dapat menguasai Timur dan Barat.Ajaran terorisme sama sekali bukan ajaran Islam, tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. dan sangat menodai wajah Islam sebagai agama yang Rahmatan lil’alamin
SOLUSI TERORISME DI INDONESIA
Teror adalah aksi kekerasan yang harus diperangi. Tetapi di lain pihak, harus juga disadari bahwa aksi tersebut tentu tidak muncul dengan sendirinya. Banyak kalangan percaya hegemoni negara-negara besar terhadap negeri-negeri tertindas telah memicu munculnya gerakan militan di mana-mana, mulai di Palestina, Chechnya, Irak sampai Asia Tenggara. Dalam konteks makro, hal itu harus menjadi perhatian intens masyarakat yang mencintai perdamaian yang langgeng.
Masalahnya, idiologi dan teologi yang mereka anut selalu menyangkut pautkan dengan simbol-simbol agama atau kepercayaan tertentu sebagai justifikasi bagi tindakan teroris, jelas suatu pembenaran sepihak. Sebab agama dan kepercayaan manapun jelas menentang setiap tindakan teror dan terorisme, karena pelakunya menghalalkan pembunuhan terhadap sesama manusia. Perbuatan mereka bukan mewakili agama atau kepercayaan tertentu, melainkan mewakili “kepercayaan” mereka sendiri. Untuk itulah, semua kalangan umat beragama di tanah air mesti bahu membahu menghadapi aksi teroris yang selalu mengancam masa depan kemanusiaan kita dengan justifikasi agama dan kepercayaan tertentu.
Sekalipun atas nama agama, tetapi radikalisme atau cara-cara kekerasan dalam penyelesaian masalah jelas tidak mendapatkan tempat dalam ajaran agama manapun, termasuk Islam. Islam, justru mengutamakan kedamaian.
Meskipun demikian, kenyataannnya, sejumlah kalangan terbatas dalam masyarakat agama-agama menempatkan kekerasan sebagai cara untuk mengekspresikan sikap dan perasaannnya. Radikalisme bahkan telah menjadi cara hidup atau “way of life” melawan apa yang mereka persangkakakan sebagai hegemoni Barat.
Pemerintah jelas pihak yang harus bertanggung jawab atas masalah seperti ini. Terorisme telah menjadi salah satu biang baru keterpurukan kita. Terorisime telah merusak citra Indonesia terutama di kalangan investor asing. Padahal modal asing diperlukan untuk menggenjot perekonomian. Kasus larinya modal asing dengan cara relokasi pabrik, bukan hanya karena makin kurangnya prospek berbisnis di dalam negeri, tapi juga karena gangguan keamanan berinvestasi.
Sekalipun demikian, pemerintah juga harus mengutamakan tindakan preemptive dengan mencari akar-akar masalah gerakan radikal. Secara teoritis, gerakan radikal di manapun muncul karena perasaan keterhimpitan, khususnya secara sosial ekonomi. Indonesia pasca-Orde Baru adalah negeri yang tak putus dirundung krisis. Beban hidup rakyat amat berat. Harga-harga melambung tinggi. Pengangguran membludak. Ketika persoalan sosial tersebut menggumpal, resolusinya menjadi idilogis. Padahal akar persoalannya bukan terletak pada idiologi, melainkan krisis sosial dan krisis ekonomi yang tak kunjung teratasi.
Karena itu tidak ada jalan lain kecuali Pemerintah terus berupaya menegakkan keadilan di masyarakat dan pemerataan pembangunan di segala bidang. Ideologi radikal mudah terbentuk dan berkembang mekar di masyarakat yang ketimpangan sosial ekonominya sangat tajam. Di samping itu, perkembangan tata ekonomi politik dunia yang cenderung pada materialime-kapitalistik, dengan motor para pemodal raksasa dari negara-negara Barat, telah membuat dis-assosiasi makin kental terutama di negara-negara dunia ketiga. Pemerintah kita juga aktif mengkampanyekan tata hubugan dunia yang makin berkeadilan.Sekalipun demikian, solusi ekonomi saja tidak cukup mengatasi kompleksitas radikalisme.
Akhirnya jelas, persoalan kekerasan dalam politik dan tindakan terorisme atas nama agama tak hanya berkaitan dengan masalah pemahaman agama yang salah kaprah, tetapi juga ketimpangan ekonomi dan alienasi sosial di tengah pluralisme dunia dan negara bangsa yang cenderung materialistik. Demokrasi yang mengandaikan pluralisme pada awalnya diharapkan dapat mengatasi munculnya pandangan sempit (sebagai akar-akar radikalisme), tetapi hal itu saja jelas tidak cukup. Demokrasi, pluralisme, harus berjalan seiring dan sinergis dengan perbaikan ekonomi dan pembangunan sosial.
Bila semua pihak bersatu mengedepankan sikap toleransi dan instropeksi maka akan menjadi media yang paling dahsyat uintuk melawan terorisme dimanapun berada. Tetapi bila sikap saling menyalahkan dan saling curiga dikedepankan maka jangan berharap bahaya laten teroris akan lenyap di muka bumi ini
silahkan komentar