Biografi Dipa Nusantara Aidit (D.N Aidit)
Melebihi tokoh-tokoh Partai lainnya, Dipa Nusantara Aidit (D. N. Aidit) muncul sebagai seseorang yang paling bertanggungjawab dalam mengarahkan penerapan ideologiMarxisme-Leninisme dalam konteks kehidupan di Indonesia. Ia juga bertanggungjawab sepenuhnya atas berbagai tindakan yang ditempuh Partai Komunis Indonesia (Periode 1948-1965) dalam rangka mengarahkan partai untuk mengambil cara-cara yang dipandang relevan untuk diambil, tentu saja dengan memperhitungkan ragam rintangan yang melintang.
Pemimpin muda PKI ini sangat dinamis, berani, bergerak cepat, dengan daya tahan fisik dan mental luar biasa, bisa jadi sejumlah kawannya terkadang tertinggal dengan geraknya. Di samping itu ia pun tak lupa menekankan akan pentingnya kesabaran revolusioner dalam perjuangan jangka panjang.
Tetapi tak sedikit orang yang menilai Aidit punya sejumlah “cacat”, baik sebagai pribadi maupun sebagai “arsitek” PKI. Apapun itu, Impian Aidit hanyalah menjadikan Indonesia yang sama rata sama rasa bagi seluruh rakyat, menjadikan masyarakat lebih baik, masyarakat tanpa kelas.
Siapakah Dipa Nusantara Aidit (D.N. Aidit) sebenarnya? Seorang panutan atau cuma penjahat yang mau mengubrak abrik Indonesia yang selama ini di gembar gemborkan? Tidak ada kesimpulan tunggal. Yang jelas, dalam suatu kesempatan, Aidit mengemukakan prinsip dan pilihan hidupnya kepada adiknya Murad. ”Kau tahu, aku memang tidak akan menjadi pahlawan keluarga. Pahlawan keluarga itu terlalu sederhana dan amat egois. Kita harus menjadi pahlawan bangsa.” Kita tahu, ucapan Aidit ini tak berujung sebagaimana yang ia harapkan. Ia tak akan pernah tercatat sebagai pahlawan.
Catatan ini “hanya” menceritakan semua kegiatan dan aktivitas Aidit dimasa hidupnya (terlepas dari kontroversinya), mulai dari lahir hingga ia meninggal dunia. Inilah sebuah biografi tentang salah satu tokoh Partai Komunis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit.
D.N.Aidit
Masa Kecil Aidit
Keluarga Terpandang
Lahir dari keluarga terpandang, Achmad Aidit lahir pada tanggal 30 Juli 1923 di Jalan Belantu 3, Pangkal alang, Tanjung Pandan Pulau Belitung, Sumatera Selatan. Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah seorang mantan mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung ketika itu. Ibunya, Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah Mailan Ki Agus Haji Abdul Rachman (Titel “Ki” pada nama itu mencirikan ningrat), seorang tuan tanah.
Abdullah punya delapan anak. Semua lelaki. Dari perkawinan dengan Mailan, lahirAchmad , Basri, Ibrahim (meninggal dunia ketika dilahirkan) dan Murad. Abdullah kemudian menikah lagi dengan Marisah (ibu tiri Achmad bersaudara) dan melahirkan Sobron dan Asahan. Keenam anaknya itu menyandang nama belakang Aidit (nama keluarga, namun bukan marga). Dua anak lainnya, Rosiah dan Mohammad Thaib, adalah anak bawaan Marisah dengan suami sebelumnya.
Aidit masuk di sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), milik pemerintah Belanda, setingkat Sekolah Dasar, juga merupakan sekolah paling tinggi di Belitung ketika itu. Aidit dikenal juga sebagai anak yang pintar.
Anak Yang Baik
Walau dididik di sekolah Belanda, keluarga Aidit tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah. Ayahnya adalah tokoh pendidikan Islam di Belitung, pendiri Nurul Islam, organisasi pendidikan Islam dekat yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Aidit dan saudaranya belajar mengaji dengan pamannya, Abdurrachman. Aidit bahkan khatam Al Qur’an sebanyak tiga kali dan dikenal juga sebagai tukang adzan di kampungnya, karena suaranya keras.
Walaupun keluarga terpandang, secara ekonomi, keluarga Aidit hidup sederhana. Sebagai anak sulung, dia suka membantu keluarganya, misalnya dengan berjualan dari mulai kerupuk hingga buah nanas yang telah dikerat-kerat, setiap ada pertandingan sepakbola di kampungnya. Suatu hari, adiknya Basri pernah ceroboh melepaskan 15 ekor itik dari kandang milik keluarganya. Ayahnya yang mendengar kejadian ini marah besar. Aidit pun mengaku dialah penyebab kaburnya itik-itik itu, sehingga dia yang harus ke sana-kemari mencari itik itu.
Bergaul Dengan Banyak Kalangan
Aidit bergaul dengan siapa saja. Dia bergaul dari mulai kelas buruh sampai none - none Belanda. Berbagai macam kelompok atau “geng” remaja di Belitung ia dekati. seperti geng kampung, anak benteng (anak polisi), geng Tionghoa, dan geng Sekak (yaitu mereka yang datang dari keluarga yang sering berpindah tempat tinggal, semacam kaum gypsy di Eropa).
Kepekaan Terhadap Lingkungan
Aidit bergaul dengan buruh - buruh tambang yang bekerja di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah milik Belanda. Sehingga ia tau tentang kehidupan mereka yang setiap hari selalu bekerja berlumur lumpur, bermandi keringat, dan hidup susah, sementara para meneer Belanda dan tuan-tuan nya dari Inggris berpesta hura-hura.
Aidit mempunyai kepekaan lebih tajam dibanding teman sebaya dan juga rasa empati terhadap sesama manusia apa yang terjadi di lingkungannya. Mungkin tambang ini lah awal mula yang menjadi semangat anti-Belanda dan perjuangan antikelas di kemudian hari. Pergaulan dengan kaum buruh itulah yang menentukan jalan pikiran dan sikap politik Aidit setelah di Jakarta.
Aidit Dan Keluarga
Awal Karir Aidit Di Jakarta
Merantau Ke Batavia
Awal tahun 1936, Setelah menyelesaikan sekolah di HIS, Achmad Aidit (13 tahun), meminta izin kepada ayahnya untuk melanjutkan sekolah setingkat SMP atau yang dikenal dengan nama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), di Batavia (Jakarta). Akhirnya ia pun pergi ke Batavia dengan ditemani pamannya, setelah memenuhi syarat – syarat umum untuk merantau, yaitu bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji.
Bakat Kepemimpinan dan Idealisme
Setibanya di Batavia tahun 1936, Aidit tinggal di rumah kawan ayahnya, Marto, seorang mantri polisi, di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya, pendaftaran MULO sudah ditutup ketika Aidit tiba, sehingga ia pun bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Bakat kepemimpinan Aidit dan idealismenya langsung menonjol di antara kawan sebayanya. Misalnya saja, Aidit mengorganisasi kawannya melakukan bolos massal untuk mengantar jenazah pejuang kemerdekaan Muhammad Husni Thamrin, yang ketika itu akan dimakamkan. Karena terlalu aktif di luar sekolah, Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS.
Menambah Relasi dan Berorganisasi
Tahun 1939, Aidit lalu pindah dan indekos di di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Setelah itu adiknya Murad datang menyusul dari Belitung, juga untuk bersekolah di Jakarta. Hal Ini membuat Abdullah, ayah Aidit, keteteran untuk membiayai mereka. Aidit lalu membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat kabar bernamaAntara di daerah Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Lama-kelamaan, selain biro iklan, Antara juga berjualan buku dan majalah.
Aidit kemudian berkongsi dengan teman satu kostannya, Mochtar, penjahit yang punya toko lumayan besar di Pasar Baru. Ditempat inilah Aidit mulai bergaul dengan para pemuda aktivis masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh, sehingga jaringan relasi Aidit meluas. Dengan bakat dan relasinya itu, Aidit langsung tertarik dengan dunia organisasi pergerakan, yang memang lagi ramai di Indonesia.
Tahun 1939 juga, Aidit bergabung dengan Persatuan Timur Muda (PERTIMU). Pekumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah organisasai kepemudaan berhaluan “kiri” pimpinan Amir Syariffudin. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin menjadi-jadi.
Aidit Dan Asrama Menteng 31
Dari perkenalannya dengan dunia organisasi itulah, Aidit lalu bergabung ke dalam kelompok Pemuda di jalan Menteng No. 31 Jakarta, yang dikenal dengan nama Menteng 31. Asrama ini dulunya hotel bernama Schomper I, namun setelah Belanda pergi dan Jepang datang ke Indonesia, tahun 1942 tempat itu terkenal sebagai basecamp para pemuda aktivis “garis keras”.
Disini mereka di gembleng oleh para senior mereka seperti Bung Karno, Bung Hatta, Amir Syarifuddin, Ahmad Subarjo, Sunaryo dan Ki Hajar Dewantara. Bung Karno dan Bung Hatta Hatta bahkan mengenal Aidit dengan baik sejak periode awal Angkatan Baru Indonesia di Asrama Menteng 31. Aidit juga banyak belajar dan terpilih untuk ikut kursus-kursus yang diadakan para pemuda Angkatan Indonesia Baru. Beragam diploma, piagam kursus bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, Ilmu Hitung Dagang, Mengetik Cepat hingga Stenografi, diperoleh Aidit dari kursus-kursus yang ditempuhnya.
Pada tahun 1944, Aidit terpilih masuk Barisan Pelopor Indonesia, yaitu sayap pemuda yang dibentuk oleh Jepang, yang bertugas menjaga keselamatan Soekarno dan Hatta. Pascakemerdekaan, organisasi ini dikenal dengan nama Barisan Benteng.
D.N.Aidit Dan Presiden Soekarno
Merubah Nama
Di balik karier politiknya yang mulai naik, Aidit seperti mencoba menghilangkan bayang-bayang keluarga dan masa lalunya di Belitung. Misalnya saja ketika Murad berkali-kali meminta bantuan finansial, Aidit selalu menolak. Suatu kali Aidit bahkan pernah berkata, bahwa persamaan di antara mereka hanyalah faktor kebetulan, karena dilahirkan dari ibu dan bapak yang sama. ”Selebihnya, tak ada hubungan apa pun di antara kita,” katanya. Achmad Aidit juga memutuskan berganti nama. Dia memilih memakai nama Dipa Nusantara Aidit, biasa disingkat D.N.
Menurut adiknya, pergantian nama itu lebih dipicu perhitungan politik Aidit. Dia mulai membaca risiko, karena sejak namanya berubah, tak banyak orang yang tahu asal-usulnya. Proses perubahan nama itu juga tak mudah. Abdullah, ayah Aidit, tak bisa dengan segera menerima pergantian itu, sebelum akhirnya Abdullah menyerah.
Teman-temannya di Menteng 31 mengusulkan nama Dipa Nusantara, karena sudah terlalu banyak yang bernama Ahmad di kalangan pemuda Menteng 31 (Harsutejo, 2003). Dipa Nusantara sendiri dipakai Aidit untuk menghormati jasa pahlawan nasional Pangeran Diponegoro. Aidit berharap, penggunaan nama Dipa itu bisa menjadi inspirasi dan semangatnya untuk membebaskan Nusantara dari cengkeraman kolonialisme. Dia sering juga disebut-sebut berdarah Minangkabau, dan D.N. di depan namanya adalah singkatan ”Djafar Nawawi.
Ada juga versi dari adiknya Asahan. Bahwa perubahan nama sudah ada sejak dia dilahirkan. Sumber yang digunakan Asahan adalah sebuah akte kelahiran Aidit sendiri. Akte itu dibuat tahun 1923, tahun kelahiran Aidit, dan ditandatangani langsung oleh Bapaknya Abdullah Aidit. Asahan ingat betul, akte yang berhiaskan lukisan indah itu masih menggunakan bahasa Melayu agak kuno. Di akte itulah tertulis: “Anak dari Abdullah Aidit yang lahir pada 1923 yang saya beri nama Ahmad Aidit, bila dia telah menginjak usia dewasa akan menggunakan nama Dipa Nusantara Aidit”. Jadi jelas, tegas Asahan, nama Dipa Nusantara bukanlah ciptaan abangnya ketika ia udah di Batavia, melainkan nama yang memang diciptakan oleh ayahnya langsung.
Kelompok Kiri
Seiring dengan pergaulan di dunia organisasi, Aidit lalu terlibat dengan kelompok “kiri”. Ia memilih jalan komunis, karena dirasakan sesuai dengan idealismenya. Ia pun berguru ke tokoh-tokoh komunis senior seperti Widarta, penanggung jawab organisasi bawah tanah PKI Jakarta, dan Wikana, seorang pemuda sosialis dan pemimpin PKI Jawa Barat yang terkenal cerdas. Ia pun banyak mempelajari buku-buku bertema Marxisme dan sosialisme.
Sekitar tahun 1944, Aidit dan Wikana kian dekat setelah Laksamana Maeda, pimpinan Angkatan Laut Jepang di Indonesia, mendirikan sekolah Dokuritsu Juku (Asrama Kemerdekaan), dan Wikana menjadi kepala sekolah tersebut, sedangkan Aidit menjadi siswa. ”Meski tak menyelesaikan kuliah, pelajar sekolah ini ikut berperan dalam mendirikan Republik” , ujar Nishijima, salah seorang pengasuh sekolah ini“ (Tempo, Agustus, 1987). Di sekolah inilah diam-diam Aidit, Chalid Rasjidi, dan Salammembentuk organisasi semi-militer yang beraksi menyerang tentara-tentara Jepang dengan nama Banteng Merah. Dari sini, jiwa “merah” Aidit mulai semakin tumbuh.
Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa Rengas Dengklok adalah peristiwa penculikan Soekarno – Hatta pada hariKamis 16 Agustus 1945 ke Rengasdengklok Karawang, oleh sekelompok pemuda (Menteng 31) yang dipimpin oleh Soekarni, untuk mendesak agar Soekarno – Hatta mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga dengan jasa para pemuda inilah Bung Karno dan Bung Hatta, akhirnya membacakan teks Proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 di rumah Bung Karno diJl.Pegangsaan Timur 56 Jakarta.
Ada beragam versi peran Aidit (22 tahun), tentang keterlibatan langsung dalam peristiwa ini. Ada yang menyebut Aidit memang ikut serta dalam rombongan pemuda, tapi banyak juga rekaman sejarah yang tak menyebut keterlibatan Aidit dalam kejadian itu. Yang jelas pada saat itu, Aidit memang aktif bersama para pemuda anti-fasis di Menteng 31.
Aidit Dan Pasca Kemerdekaan
Melawan Jepang
Setelah proklamasi kemerdekaan, pada awal September 1945, aktivis Menteng 31 membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API), yang diketuai Wikana. Sementara Aidit menjadi Ketua API Jakarta Raya. Di bidang keorganisasian mereka membentukBarisan Rakyat yang mengorganisasi pada petani. API pun segera menjadi “ancaman” bagi Jepang dan sekutu (yang datang kemudian) yang datang ke Indonesia.
Penjara Jatinegara dan Pulau Onrust
Pada tanggal 19 September 1945, di lapangan Ikada (sekarang Monas ), API bersama barisan buruh dan tani mengadakan rapat raksasa dan aksi untuk menunjukkan dukungan rakyat kepada para pimpinan negara. Hal ini membuat tentara Jepang marah dan merazia Asrama Menteng 31. Para pemimpin API, termasuk Aidit, dimasukan ke dalam penjara di Jatinegara.
Aidit dan teman-teman berhasil menyogok penjaga penjara dan kabur. Sejak itu aktivitas Menteng 31 berhenti. Aidit pun kembali ke jalan, memimpin API Jakarta dengan melakukan serangan-serangan ”kecil” kepada tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang datang membonceng sekutu pada 28 September 1945. Hampir setiap hari mereka menembaki patroli sekutu yang lewat, hingga akhirnya tentara sekutu meledakkan markas API. Puncaknya pada tanggal 5 November 1945, ketika Aidit memimpin sekelompok pemuda menyerbu pos pertahanan Koninklijke Nederlands Indische Lege atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda (tentara sekutu). Namun mereka kepergok tentara Inggris yang berpatroli. Sekitar 30 aktivis tertangkap, termasuk Aidit. Tentara Inggris menyerahkan mereka ke Belanda, yang lalu membuang mereka kePulau Onrust, di gugusan Kepulauan Seribu, utara Jakarta.
Gondolayu, Yogyakarta
Aidit bebas tujuh bulan kemudian, Bulan Juni 1946, cuma sehari di Jakarta, dia lalu menyusul teman-temannya ke Yogyakarta (ibu kota sementara). Aidit bahkan sempat aktif di markas kelompok sayap kiri di bilangan Gondolayu, Yogyakarta, tempat para pemuda radikal memusatkan aktivitasnya.
Biografi Dipa Nusantara Aidit (D.N Aidit) Part.2
Aidit Dan Awal Karir Di Partai Komunis Indonesia (PKI)
Setelah merdeka pada tahun 1945, Bung Hatta memperkenankan rakyat Indonesia untuk membuat partai-partai politik. Pada bulan November 1945, PKI muncul kembali. Pada akhir April 1946, mereka menggelar Kongres di Solo, Jawa Tengah dan mendeklarasikan PKI kembali sebagai partai legal. Masih di tahun yang sama, Ketua PKI Sardjono, eks tahanan Digul, memindahkan kantor pusat PKI di Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit lalu bergabung ke dalam partai tersebut.
Tidak lama setelah itu kader-kader komunis Indonesia yang dipenjarakan di luar negri, “pulang kampung” ke Indonesia. Mereka membawa buku-buku tentang teori Marxisme, yang membuat Aidit berkesempatan memperdalam pengetahuannya tentang Marxisme. Aidit menghabiskan sebagian besar waktunya pada periode 1946-1948 dengan berkutat dalam berbagai aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Bersama beberapa yang tersisa, Aidit mencoba membangun kembali partai.
Pada Bulan Maret 1947 di Malang, Aidit lalu masuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal badan legislatif di Indonesia, dan menjadi Ketua Fraksi PKI. Awal 1948, Aidit kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI, yang salah satu tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels.
Awal 1948 juga Aidit diserahi tugas untuk membidangi bidang Agitasi dan Propaganda (Agitprop), untuk menyebarkan lagi paham revolusioner dan anti-imperialis. Di bawah bimbingan seniornya Alimin (Tokoh PKI), Aidit menerbitkan majalah dwibulanan Bintang Merah, terbitan PKI yang punya arti strategis. Lalu pada Agustus 1948, Aidit menjadi anggota Comite Central (CC) PKI, dan mengurus agraria.
Aidit Dan PKI
Aidit Dan Keluarga
Awal tahun 1948, Aidit (25 tahun) menikahi Soetanti atau Tanti (24 tahun), secara Islam tanpa pesta, di rumah KH Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo, yang bertindak sebagai penghulu. Ayah Tanti Moedigdo, Ibunya Siti Aminah, dan empat adik Soetanti datang. Hanya Murad dan Sobron, dua adik Aidit, yang mewakili keluarga Belitung.
Tanti adalah mahasiswi tingkat tiga Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten Yogyakarta juga anggota Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI). Mereka bertemu sekitar tahun 1946 di kantor Bintang Merah. Sutanti adalah anak dari pasangan aktivis pergerakan yang cukup radikal. Ayahnya seorang ningrat keturunan bangsawan Tuban dan pegawai negeri di Kantor Pajak. Dia menjadi anggota Partai Sosialis pimpinan Amir Syarifuddin dan Terlibat dalam Madiun Affair , sehingga akhirnya ditembak mati. Ibunya Siti Aminah, ketika itu menjadi anggota KNIP mewakili Partai Sosialis dan wakil ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sampai kemudian ditahan dan diberhentikan tahun 1965.
Pernikahannya dengan Aidit kian meneguhkan darah aktivis yang ia warisi dari kedua orangtuanya. Ia tahu benar resiko menjadi aktivis politik sekaligus menjadi istri pemimpin tertinggi PKI. Dari pernikahannya itu, Aidit dikaruniai lima orang anak yaitu, Ibarruri Putri Alam, Ilya, Iwan, lalu Ilham dan Irfan (Kembar).
Aidit Dan Pemberontakan Madiun
Berawal ketika Muso (Tokoh Pendiri PKI sekaligus arsitek pemberontakan 1926), yang buron dan lari ke Rusia, kembali diam – diam ke Indonesia pada tahun 1948 dan masuk kembali kedalam PKI. Pemikiran Muso mengenai “Jalan Baru bagi Republik” sejalan dengan pandangan Aidit selama ini. Muso yang saat itu mencoba mendirikan “Soviet Republik Indonesia” didukung penuh olehnya dengan turut melakukan pemberontakan di berbagai daerah. Madiun, Magetan, Cepu, Blora, dan sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikuasai massa PKI. Baginya, kehadiran Muso menjanjikan aksi, bukan sekadar angan revolusi.
Setelah Muso menjadi ketua partai, Bulan Agustus 1948, Aidit (25 Tahun)ditugasi mengkoordinasi seksi perburuhan partai. Posisi strategis ini merupakan kepercayaan besar baginya.
Hanya sebulan setelah Aidit menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, tepatnya pada dini hari 18 September 1948, puluhan ribu buruh dan tani merangsek mengambil alih kekuasaan pemerintah di daerah-daerahdi Madiun, Jawa Timur. Peristiwa ini dikenal dengan “Pemberontakan Madiun”.
Sehari setelahnya, tanggal 19 September 1948, pemberontakan tersebut gagal dan berhasil ditumpas oleh Divisi Siliwangi pimpinan Kol. Gatot Subroto. Mayoritas pimpinan partai tertangkap, lalu dihukum mati seperti Muso dan Amir Syarifuddin. Pemerintah lalu menyatakan kasus Madiun selesai dan menjadi tonggak perang antara PKI dan tentara.
Aidit berhasil lolos dari pembunuhan. Aidit sempat dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri Alam, putri sulung Aidit, melukiskan, ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar menjadi pedagang Cina. ”Rambutnya digundul habis, Papa ikut iring-iringan konvoi barang.”
Dari Yogyakarta, Aidit ”hijrah” ke Jakarta, dan dikabarkan kabur ke Beijing, Cina. Ada juga versi yang mengatakan kabur ke Vietnam Utara Namun. Ada yang menyebut bahwa sebenarnya ia hanya mondar-mandir Jakarta-Medan. menurut buku karangan Murad Aidit, sang abang bersembunyi di daerah pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia memakai nama samaran Ganda. Sejak saat itu dia menghilang.
Aidit Dan Partai Komunis Indonesia (PKI) Pasca Pemberontakan Madiun
Setelah kegagalan pemberontakan Madiun, PKI dihancurkan tetapi tidak dilarang. padapertengahan 1950, Aidit (27 tahun) ”muncul” lagi. Pada saat itu PKI sedang menata kembali roda organisasi yang nyaris mati akibat pembersihan pasca Madiun Affair. Bersama Lukman dan Njoto, ia lalu memindahkan kantor PKI dari Yogyakarta ke Jakarta. Bisa dibilang, dalam kurun waktu inilah karier politik Aidit sesungguhnya dimulai.
Mereka diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan dan organisasi dijalankan lewat sistem komisariat diComite Central. Situasinya sulit karena setiap kabinet alergi komunisme. Sampai-sampai itu membuat trio Aidit-Lukman-Njoto harus bersembunyi dengan menyamar. Aidit memilih strategi defensif sebab penyesuaian perlu dilakukan. Ia juga membawa pembaharuan yang sangat drastis.
Tak cuma berorganisasi, untuk meluaskan jaringan, mereka mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas. Aidit dan Lukman juga kembali menerbitkan Bintang Merah pada 15 Agustus 1950.
Mengkudeta Tokoh Tua
Pada kongres PKI 7 Januari 1951, Aidit bersama golongan muda berhasil mengisiPolitbiro (eksekutif dalam partai) PKI. Golongan-golongan tua hanya diberi tempat sebagai anggota CC PKI yang tidak memiliki fungsi strategis apapun, itu pun tidak permanen.
Kongres PKI tahun 1954, pengurus PKI beralih ke generasi muda. Tokoh tua Politbiro seperti Tan Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Aidit menganggap mereka terlalu lembek, elitis, dan pragmatis. Aidit (31 Tahun) lalu terpilih menjadi anggota Central Comitee (CC) PKI dan menjadi Sekretaris Jenderal PKI. Aidit adalah Sekjen PKI yang termuda, sekaligus yang terakhir. Ia kian sibuk dengan bepergian ke luar negeri, mengunjungi dan menghadiri rapat-rapat internasional komunis di Vietnam, Tiongkok, dan Rusia.
“Jalan Baru”
Langkah awal yang dilakukan Aidit adalah membangun partai melalui konsepsi “Jalan Baru”, dengan meluncurkan dokumen perjuangan partai berjudul ”Jalan Baru Yang Harus Ditempuh Untuk Memenangkan Revolusi”. Tujuan dari konsep tersebut adalah adalah menunjukkan kepada rakyat bahwa PKI berjuang melalui garis pelembagaan negara (Perjuangan Parlemen) yang lebih menggunakan cara aman, damai, dan demokratis. Jadi pada permulaannya, Aidit menggunakan strategi kanan untuk membangun kembali kekuatan PKI.
Aidit berusaha untuk memuluskan jalannya dengan menjalin kerjasama dengan partai politik yang non-komunis dan anti penjajahan dan melawan kelas borjuis komprador dan kelas feodal. Aidit membuat suatu “front persatuan nasional” untuk memuluskan jalannya dan terbukti berhasil meningkatkan kekuatan PKI.
Aidit membangun aliansi kekuatan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk memperkuat PKI. PNI dipilih karena, selain sama-sama anti-Barat, juga ada figur Soekarno yang bisa dipakai mengatasi tekanan lawan-lawan politik mereka. Aidit juga mendekati Nahdatul Ulama (NU), karena dia memandang NU adalah sebuah partai borjuis setelah memisahkan diri dari Masyumi. Strategi Aidit dalam mendari sekutu di antara aliran-aliran politik lainnya mengandung arti bahwa sebenarnya PKI menyesuaikan diri dengan struktur sosial yang di dalamnya kesetiaan budaya, agama, dan politik lebih bersifat vertikal atau komunal (apa yang disebut aliran) daripada horizontal seperti dalam suatu masyarakat yang sadar kelas.
DN Aidit saat memberikan sambutan pada ulang tahun ke-5 Partai Persatuan Sosialis Jerman (Sozialistische Einheitspartei Deutschlands) di Berlin (1958).
Aidit, PKI dan Pemilu 1955
Puncaknya Pada Pemilu pertama di Bulan September 1955, PKI masuk ”empat besar” setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Di masa ini PKI menjadi partai komunis terbesar di negara non-komunis dan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Cina. Itu artinya, di tangan Aidit, PKI menjadi partai komunis terbesar di negara non-komunis. Di tangan Aidit, PKI menjelma menjadi sebuah partai yang disegani. Kerja keras Aidit membuahkan hasil.
Di tahun 1956 Presiden Sukarno meminta agar partai-partai dibubarkan dan mempunyai konsepsi baru yakni “demokrasi terpimpin”. Aidit yang sangat membutuhkan perlindungan Sukarno mendukung konsepsi barunya tetapi berharap agar partai-partai tidak dibubarkan, karena PKI telah begitu berhasil di dalam parlemen. Pada tahun 1957, Sukarno menyatakan bahwa partai-partai tidak wajib membubarkan diri, sehingga Aidit semakin mendukung kebijakan Sukarno tersebut.
Selain kebijakan untuk menambah anggotanya, Aidit juga mengadakan kursus-kursus umum pemberantasan buta huruf dan kursus-kursus pendidikan dasar sebelum partai ini dapat mengungkapkan gagasan-gagasan Marxis-Leninis kepada sebagian besar pengikutnya yang dengan cepat bertambah banyak itu. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.
Pada tahun 1957, dalam pemilihan daerah, jumlah suara untuk PKI meningkat hampir 40 persen, bahkan di beberapa daerah mereka mayoritas. Jumlah anggotanya yang semula hanya 4.000 orang meningkat puluhan kali lipat. Aidit dengan bangga melaporkan bahwa jumlah perempuan anggota partai sudah mencapai 100 ribu. Pada usia 32 tahun Aidit sudah menjadi pemimpin salah satu kekuatan politik pasca-revolusi yang paling signifikan dan hidup.
Strategi politik yang Aidit lakukan selalu mendapat rintangan dari lawan-lawannya yang takut akan berkembangnya PKI. Beberapa kendala PKI adalah para politisi sipil yang non-komunis dan militer. Angkatan Darat yang telah “sakit hati” akibat peristiwa Madiun selalu mengawasi PKI dan menghalangi perkembangan PKI.
Bulan Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat dan pada BulanSeptember 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang. Pada tahun1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya.
Pada tahun 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. Di bawah bendera Nasakom, kelompok Komunis secara de facto merupakan unsur terkuat dan dominan dibandingkan dengan dua unsur lainnya, baik kelompok Agama maupun kelompok Nasional.
Sukarno memasukan Aidit dan Nyoto menjadi anggota Front Nasional untuk memperjuangkan Irian Barat sehingga berhasil diselesaikan pada 15 Agustus 1962 danpada Maret 1962, Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat.
PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer.
karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.
Periode 1963 hingga September 1965, ditengah pro dan kontranya, menjadi masa paling ‘cemerlang’ bagi karir Aidit dan PKI. Pada masa itu, PKI menjadi partai paling ‘revolusioner’, ofensif, dan tercatat sebagai partai yang terdepan dalam berbagai inisiatif politik. PKI kemudian tumbuh pesat menjadi kekuatan politik berpengaruh. Tahun 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan.
Aidit Dan Gerakan 30 September PKI
Gerakan 30 September (Gestapu atau G 30 S) adalah suatu peristiwa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan suatu kelompok militer yang dipimpin Let. Kol. Untungterhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat yang diduga sebagai “Dewan Jendral” yang akan menggulingkan kekuasaan Soekarno.
Dibalik berjuta kontroversinya, Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto, sebagai petinggi AD, mengumumkan bahwa PKI sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini, walaupun kenyataannya tak pernah ada jawaban tunggal atas siapa sebenarnya “dalang”prahara tersebut.
Apapun itu, siapapun dalangnya, kenyataannya pada saat itu PKI tetap divonis sebagai “biang kerok” atas peristiwa tersebut, Walaupun keterlibatan langsung PKI belum pernah diungkap secara jelas.
Tanggal 1 Oktober dilakukanlah GESTOK (Gerakan 1 Oktober), yang langsung dipimpin langsung oleh Soeharto untuk memburu dan menangkap para pemimpin PKI dan simpatisannya, dan Aidit menjadi tokoh utamanya. Terjadilah pembantaian massal 1965 di Jawa Tengah, Bali yang menyebabkan setengahjuta orang dibunuh dan dilakukan atas prakarsa Soeharto (Pasca G 30 S).
Pelarian, Penangkapan dan Kematian Aidit
Dalam salah satu kesaksiannya dr Tanti Aidit (Istri Aidit), pada 30 September 1965 malam hari DN Aidit, suaminya, diculik tentara. Murad Aidit (Adik Aidit) yang juga sedang berada di rumah yang sama tidak memberikan gambaran kecuali "dibawa dengan mobil oleh orang yang tidak kukenal" bersama ajudannya Kusno. Memori seorang anak berumur 6 tahun, Ilham Aidit (Anak Aidit), agaknya lebih jernih, "Ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di depan rumah" (Tempo, 7 Okt 2007). Salah seorang yang menjemputnya ialah Mayor Udara Suyono (dengan seragam AU warna biru) dan membawa DN Aidit ke lingkungan Pangkalan Angkatan Udara Halim. Di Halim ia kemudian ditemui oleh Ketua BC PKI Syam.
Persembunyian
Pada tanggal 1 atau 2 Oktober 1965 tengah malam, Aidit disuruh oleh Sam untuk segera naik pesawat yang sudah tersedia untuk terbang ke Yogya bersama pendampingnyaKusno. Keberadaan Aidit di Yogya akhirnya diketahui pihak lain, maka untuk menghilangkan jejak, kemudian perjalanan diteruskan ke Salatiga. Beberapa hari kemudian baru melanjutkan perjalanan ke Solo.
Penangkapan
Sesampainya Aidit di Solo, dia ditempatkan secara terus berpindah-pindah. Sampai akhirnya ia tinggal dirumah Sri Harto, Ketua SBIM (Sarekat Buruh Industri Metal) di pabrik panci Blima, dan salah satu simpatisan PKI. Tetapi dengan berbagai alasan dan versi, keberadaan Aidit di Solo tersebut akhirnya diketahui para senior Pemuda Pelajaryang memang mencarinya. Saat rumah dimana Aidit tersebut ditempatkan digerebeg oleh sepasukan polisi, Aidit sudah dipindahkan ke kampung Sambeng.
Berdasarkan informasi yang diberikan Brigif 4, malam 21 November 1965, ABRI dan pasukan-pasukan eks Tentara Pelajar di bawah komando operasi Kolonel Jazir Hadibroto, dikerahkan untuk mengepung Kampung Sambeng, Kelurahan Mangkubumen, Solo. Di sebuah rumah di ujung Gang Sidareja, di tepi sebuah sungai dekat sebuah kuburan. Rumah itu milik seorang perempuan tua bernama Mbok Harjo, seorang pensiunan pegawai Bea & Cukai.
Akhirnya dengan berbagai versi cerita, Aidit tertangkap di rumah tersebut di sebuah kamar rahasia di balik sebuah lemari makan. Dengan paras lusuh dan pucat, ia kedapatan sedang duduk meringkuk memeluk lutut. Dipa Nusantara Aidit puntertangkap.
Misteri Kematian Aidit
Banyak versi tentang kematian DN Aidit. Versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum "diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka. Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati.
Versi kedua mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.
Versi ketiga mengatakan, sesaat setelah penangkapan, Jendral Soeharto (sebagai panglima Kostrad), memerintahkan agar Aidit dibawa ke Jakarta. Konon kemudian didapat kabar bahwa dalam perjalanan ke Jakarta tersebut ditengah jalan Aidit dihabisi dan tak tentu rimbanya.
Atau ada juga versi yang diterima Istrinya Dr. Sutanti di pengujung November 1965, bahwa sang suami telah dieksekusi di daerah Jawa Tengah. Mungkin di Boyolali atau Solo. Ada juga yang bilang di Tegal. Pada sebuah subuh di bulan November 1965, Aidit dieksekusi. Tubuhnya diberondong senapan AK sampai habis satu magasin. Jasadnya lalu dikuburkan di sebuah liang (sumur) di dalam markas Kodim, Boyolali, Jawa Tengah. Tanpa tanda, tanpa nisan. Yang jelas, dari berbagai sumber tersebut, DN Aidit meninggal secara misterius di Jawa Tengah, 22/23 November 1965 pada umur 42 tahun.
Ilham Aidit, tak pernah lelah mencari kepastian nasib ayahnya
silahkan komentar