Biografi KH. M. Munawir Krapyak Yogyakarta

Biografi KH. M. Munawir Krapyak Yogyakarta

Biografi KH. M. Munawir Krapyak Yogyakarta
Biografi KH. M. Munawir Krapyak  KH. M. Munawwir artinya putra KH. Abdullah Rosyad bin KH. Hasan Bashari. Dahulu, ada seorang ulama pejuang, KH. Hasan Bashari namanya, atau yg lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari ajudan Pangeran Diponegoro. Beliau sangat ingin menghafalkan kitab   suci al-Quran tetapi terasa berat setelah mencobanya berkali-kali. Akhirnya dia melakukan riyadhah serta bermujahadah, sampai suatu ketika Allah Swt. Mengilhamkan bahwa apa yang dicita-citakan itu baru akan dikaruniakan pada keturunannya.

Begitu jua anak beliau, KH. Abdullah Rosyad, selama 9 tahun riyadhah menghafalkan al-Quran, saat berada di Tanah kudus Makkah, dia mendapat ilham bahwa yg akan dianugerahi hafal al-Quran adalah anak-cucunya.KH. M. MUNAWWIR PENDIRI PP. KRAPYAK YOGYAKARTA

KH. Abdullah Rosyad dikaruniai 11 orang anak dari 4 orang istri, galat satunya merupakan KH. M. Munawwir yang ialah butir pernikahan beliau menggunakan Nyai Khadijah (Bantul).

Masa Belajar KH. M. Munawwir

pengajar pertama beliau ialah Ayah dia sendiri. Menjadi targhib (penyemangat) nderes al-Quran, oleh Ayah menyampaikan anugerah sebanyak Rp 2,50 Jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya sekali. Ternyata hal ini terealisasi menggunakan baik, bahkan terus berlangsung sekalipun pemberian  tidak diberikan lagi.

KH. M. Munawwir tidak hanya belajar qira’at (bacaan) serta menghafal al-Quran, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang dia timba berasal para ulama di masa itu, diantaranya;
• KH. Abdullah (Kanggotan – Bantul)
• KH. Kholil (Bangkalan – Madura)
• KH. Shalih (Darat – Semarang)
• KH. Abdurrahman (Watucongol – Magelang)

selesainya itu, di tahun 1888 M. Beliau melanjutkan pengajian al-Quran serta pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (dua Tanah suci), baik di Makkah al-Mukarramah maupun pada Madinah al-Munawwarah. Adapun guru-pengajar dia pada sana diantaranya;
• Syaikh Abdullah Sanqara
• Syaikh Syarbini
• Syaikh Mukri
• Syaikh Ibrahim Huzaimi
• Syaikh Manshur
• Syaikh Abdus Syakur
• Syaikh Mushthafa
• Syaikh Yusuf Hajar (pengajar dia pada qira’ah sab’ah)

Pernah dalam suatu perjalanan berasal Makkah ke Madinah, tepatnya pada Rabigh, beliau berjumpa dengan seorang tua yg tidak dia kenal. Pak Tua mengajak berjabat tangan, lantas beliau minta didoakan supaya sebagai seseorang hafidz al-Quran sejati. Lalu Pak Tua menjawab: “Insyaa-Allah.” berdasarkan KH. Arwani Amin (suci), orang tua itu adalah Nabiyullah Khadhir Alaihi Salam.

KH. M. Munawwir pakar dalam qira’ah sab’ah (7 bacaan al-Quran). Dan  salah  satunya merupakan qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh. Berikut inilah Sanad Qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh KH. M. Munawwir hingga pada Nabi Muhammad Saw. Yaitu dari:
1) Syaikh Abdulkarim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi, asal
dua) Syaikh Isma’il, berasal
3) Syaikh Ahmad ar-Rasyidi, berasal
4) Syaikh Mushthafa bin Abdurrahman al-Azmiri, dari
5) Syaikh Hijaziy, dari
6) Syaikh Ali bin Sulaiman al-Manshuriy, asal
7) Syaikh Sulthan al-Muzahiy, dari
8) Syaikh Saifuddin bin ‘Athaillah al-Fadhaliy, dari
9) Syaikh Tahazah al-Yamani, dari
10) Syaikh Namruddin ath-Thablawiy, asal
11) Syaikh Zakariyya al-Anshari, berasal
12) Syaikh Ahmad al-Asyuthi, asal
13) Syaikh Muhammad ibn al-Jazariy, dari
14) Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Khaliq al-Mishri asy-Syafi’i, dari
15) Al-Imam Abi al-Hasan bin asy-Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa al-‘Abbasi al-Mishri, asal
16) Al-Imam Abi Qasim asy-Syathibi, dari
17) Al-Imam Abi al-Hasan bin Huzail, berasal
18) Ibnu Dawud Sulaiman bin Najjah, dari
19) Al-Hafidz Abi ‘Amr ad-Daniy, berasal
20) Abi al-Hasan ath-Thahir, asal
21) Syaikh Abi al-‘Abbas al-Asynawiy, berasal
22) ‘Ubaid ibnu ash-Shabbagh, dari
23) Al-Imam Hafsh, berasal
24) Al-Imam ‘Ashim, asal
25) Abdurrahman AS-Salma, dari
26) Sadatina Utsman bin ‘Affan, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Thalib, berasal
27) Rasulullah Muhammad Saw. Asal
28) Robbul ‘Alamin Allah Swt. Dengan perantaraan Malaikat Jibril Alaihi Salam.

Dia menekuni al-Quran menggunakan riyadhah, yakni sekali khatam pada 7 hari 7 malam selama 3 tahun, kemudian sekali khatam dalam tiga hari tiga malam selama tiga tahun, kemudian sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, serta terakhir ialah riyadhah membaca al-Quran selama 40 hari tanpa henti sampai verbal dia berdarah karenanya.

Sehabis 21 tahun menimba ilmu pada Tanah kudus, dia pun pulang ke kediaman beliau di Kauman, Yogyakarta, di tahun 1909 M.

Akhlaq KH. M. Munawwir

KH. M. Munawwir selalu menentukan awal ketika buat menunaikan shalat, lengkap dengan shalat sunnah Rawatibnya. Shalat Witir dia tunaikan 11 raka’at dengan hafalan al-Quran menjadi bacaannya. Begitu juga pada mudawamah beliau terhadap shalat Isyroq (sesudah terbit surya), shalat Dhuha dan  shalat Tahajjud.

Dia mewiridkan al-Quran tiap ba’da Ashar dan  ba’da Shubuh. Walau sudah hafal, tak jarang dia permanen menggunakan Mushaf. Bahkan kemanapun dia bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara, wirid al-Quran permanen terjaga. Beliau mengkhatamkan al-Quran sekali tiap satu minggu, yakni pada hari Kamis sore. Demikianlah dia mewiridkan al-Quran sejak berusia 15 tahun.

Ketika siang dia lewatkan dengan mengajarkan al-Quran, serta di waktu senggang beliau masuk ke pada kamar khusus (dahulu terletak pada sebelah utara Masjid) buat bertawajjuh pada Allah Swt. Sedangkan pada malam hari beliau istirahat secara bergilir pada antara istri-istri menggunakan demikian adilnya.

Beliau mempunyai lima orang istri, adapun istri kelima, dinikahi sehabis wafatnya istri pertama, yakni;
1. Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
2. Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
tiga. Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
4. Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
5. Nyai Khadijah (Kanggotan – Yogyakarta)

Begitulah KH. M. Munawwir hidup bersama famili pada tengah kenyamanan, kerukunan, istiqamah dan  wibawa, menggunakan berkah al-Quran al-Karim.

Orang hafal al-Quran (Hafidz) yg dia akui adalah orang yg bertakwa kepada Allah, dan  shalat Tarawih menggunakan hafalan al-Quran menjadi bacaannya.

Begitu akbar pengagungan dia terhadap al-Quran, hingga-sampai undangan Haflah Khatmil Quran hanya beliau sampaikan kepada mereka yg Bila memegang Mushaf al-Quran selalu pada keadaan kudus berasal hadats.

Pernah terjadi seorang santri berasal Kotagede menggunakan sengaja memegang Mushaf al-Quran pada keadaan hadats. Setelah diusut sang KH. M. Munawwir, akhirnya santri tersebut mengakuinya. Atas pengakuannya, si santri dita’zir, lalu dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan sudah menghafalkan al-Quran 23,5 juz.

Setiap setengah bulan sekali dia memotong rambut. Juga tak pernah diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup, baik itu menggunakan kopyah atau sorban maupun keduanya. Menggunting kuku selalu dia lakukan tiap hari Jum’at.

Pakaian dia sederhana namun tepat buat melakukan ibadah, rapi dan  bersetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan  tasbih selalu tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu dia kenakan ketika menghadiri program-program resmi Kraton. Untuk bepergian, dia tak jarang mengenakan baju jas hitam, sorban, dan  sarung.

Beliau tidak senang makan sampai kenyang, terlebih lagi pada bulan Ramadhan, yakni cukup menggunakan satu cawan nasi ketan buat sekali makan. Jika ada anugerah bantuan asal orang, dia pergunakan sinkron menggunakan tujuan pemberinya. Bila ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya.

Walau beliau termasuk dalam Abdi Dalem (anggota dalam) Kraton, namun beliau tak suka  mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Menjadi hiburan, beliau suka  sekali mendengarkan lantunan shalawat-shalawat, Burdah serta tentunya Tilawatil Quran.

Para santri dia perintahkan buat berziarah pada Pemakaman Dongkelan tiap Kamis sore. Tiap berziarah, dia membaca surat Yasin dan  Tahlil. Jika terjadi suatu peristiwa yg menyangkut ummat pada umumnya, beliau mengumpulkan semua santri buat beserta-sama tawajjuh serta memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya menggunakan membaca shalawat Nariyyah 4.444 kali atau surat Yasin 41 kali.

Selain mengasuh santri, dia tidak lantas meninggalkan tugas menjadi ketua rumah tangga. Tiap ba’da Shubuh, dia mengajar al-Quran kepada segenap keluarga dan  pembantu rumah tangga. Nafkah berasal beliau, baik untuk istri-istri maupun anak-anak, selalu cukup berdasarkan kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa damai, tenteram, rukun, dan  tak sembarang orang keluar-masuk tempat tinggal   selain atas ijin dan  perkenan dari beliau.

Hampir-hampir beliau tidak pernah marah kepada santrinya, selain dalam hal yang mengharuskannya. Pernah suatu saat dia tiduran di muka kamar santri, tiba-tiba bantal yg dia pakai diambil secara tiba-tiba oleh seorang santri, hingga terdengar bunyi ketua dia mengenai lantai. Lantas beliau memanggil santri yg mengambil bantal tadi seraya berkata: “Nak… aku  pinjam bantalmu, karena bantal yg saya gunakan baru saja diambil oleh seseorang santri.”

acapkali dia menyampaikan sangu pada santri yg mohon ijin pulang ke kampung halamannya, dan  sangat memperhatikan kehidupan santri-santrinya. Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar pesantren, biasanya sekali tiap 1/2 bulan, sebagai pelepas penat.

Menjadi layaknya seseorang ulama, KH. M. Munawwir jua akrab serta tak jarang menerima kunjungan berasal para ulama lain, antara lain;
1) murid-murid Syaikh Yusuf Hajar asal Madinah
2) KH. Sa’id (Gedongan – Cirebon)
tiga) KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
4) KH. R. Asnawi (suci)
5) KH. Manshur (Popongan)
6) KH. Siroj (Payaman – Magelang)
7) KH. Dalhar (Watucongol – Magelang)
8) KH. Ma’shum (Lasem)
9) KH. R. Adnan (Solo)
10) KH. Dimyati (Tremas – Pacitan)
11) KH. Idris (Jamsaren – Solo)
12) KH. Abbas (Buntet – Cirebon)
13) KH. Siroj (Gedongan – Cirebon)
14) KH. Harun (Kempek – Cirebon)
15) KH. Muhammad (Tegalgubuk – Cirebon)
16) Para Kyai asal Jombang dan  Pare
17) Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan  IX
18) B.R.T. Suronegoro
19) KH. Asy’ari (Wonosobo) yg artinya teman semasa belajar di Tanah kudus.

Selain dikunjungi, dia pula kerapkali mengadakan kunjungan balasan terhadap para ulama yg lain, mirip kepada KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta), maupun yg lainnya.

Dia jua mendapat kepercayaan  dari pihak Kraton buat menjadi anggota JEMANGAH, yakni jama’ah shalat tetap yg terdiri berasal 41 orang ulama, dimaksudkan menjadi penolak bencana Negara.

Dakwah KH. M. Munawwir

Sepulang berasal Makkah di tahun 1909 M, beliau lantas mendakwahkan al-Quran di kurang lebih kediaman beliau di Kauman. Tepatnya di sebuah langgar kecil milik dia, kawasan tadi sekarang sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta.

Lantas pindah ke Gading, tinggal beserta saudara tertua beliau, KH. Mudzakkir. Tetapi sebab aneka macam sebab, pula atas saran asal KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), di tahun 1910 M dia pun hijrah ke Krapyak sehabis sehabis pembangunan rumah dan  komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yg kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.

Pada 15 November 1910, Pesantren Krapyak mulai ditempati buat mengajar al-Quran. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa KH. Abdul Jalil.

Konon, KH. Abdul Jalil dalam menentukan kawasan untuk pembangunan masjid, adalah menggunakan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membuat batas-batas wilayah yg akan dibangun masjid. Menggunakan kehendak Allah, wilayah yg dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.

KH. M. Munawwir selalu mengerahkan segenap santri buat melakukan amaliyah membaca surat Yasin tiap terselesaikan pembangunan berlangsung. Pembangunan terus berlanjut secara sedikit demi sedikit, mulai berasal masjid, akses jalan, dan  gedung komplek santri hingga tahun 1930 M.

Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi pada pedagogi al-Quran. Para santri sangat menghormati beliau, bukan sebab takut, melainkan sebab haibah, wibawa beliau.

Pengajian utama yang diasuh pribadi oleh KH. M. Munawwir artinya kitab   suci al-Quran, yakni terbagi atas dua bagian; BIN-NADZOR (membaca) serta BIL-GHOIB (menghafal). Santri bermula berasal surat al-Fatihah, lantas Lafadz Tahiyyat hingga menggunakan shalawat Aali Sayyidina Muhammad, lalu surat an-Nas hingga surat an-Naba’, baru kemudian surat al-Fatihah diteruskan ke surat al-Baqarah hingga khatam surat an-Nas.

Selain itu, pengajian buku-kitab   juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910, seseorang santri dari Purworejo, yg diklaim mampu oleh dia diperintahkan: “Ajarkanlah ilmu fiqh kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”

Begitu seterusnya berkembang, baik buku fiqh juga tafsir, makin menonjol disamping pengajian al-Quran yang utama. Beliau mengajar secara sistem MUSYAFAHAH, yakni sorogan, tiap santri pribadi membaca di hadapan dia. Bila terdapat kesalahan dia pribadi membetulkannya.

Adab (tata Krama) pada pengajian al-Quran sangat dia tekankan kepada para santri. Berbagai hukum serta ta’ziran dia berlakukan terhadap para santri. Buat santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah doa untuknya langsung sang KH. M. Munawwir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah, yg pada dasarnya berisi pengakuan ilmu asal pengajar kepada muridnya serta Tarattubur-Ruwat (Urutan Riwayat) atau Sanad dari sang guru hingga kepada Rasulullah Saw. Secara lengkap.

Poly diantara siswa-siswa dia yang pula meneruskan usaha pada kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam di umumnya, dan  pedagogi al-Quran pada khususnya. Misal;
1. KH. Arwani Amin (kudus)
2. KH. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
4. KH. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
lima. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
6. KH. Noor (Tegalarum – Kertosono)
7. KH. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
8. KH. Murtadha (Buntet – Cirebon)
9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
10. KH. Abu Amar (Kroya)
11. KH. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
13. KH. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
14. KH. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
16. Haji Mahfudz (Purworejo)

buat para Mutakharrijiin (Alumni), beliau senantiasa menjalin korelasi dan  bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat masing-masing.

Karomah KH. M. Munawwir

KH. Abdullah Anshar (Gerjen – Sleman) mengetahui dia wafat, maka menangislah ia serta mengatakan tidak kerasan lagi hayati pada dunia tanpa beliau. Selesainya kembali ke tempat tinggal  , KH. Abdullah eksklusif menyusul kembali ke Rahmatullah.

Kyai Aqil Sirodj (Kempek – Cirebon) ketika masih berusia kurang lebih 8 tahun belum bisa mengucap dengan kentara bunyi “R”. Tetapi sesudah minum air bekas cucian tangan beliau, eksklusif dapat membaca “R” dengan kentara.

Kala mengajar, umumnya beliau sembari tiduran, bahkan kadang benar-benar tertidur. Namun Jika ada santri yg keliru   membaca, dia pribadi bangun serta mengingatkannya.

Saat baru berusia 10 tahun, dia berangkat mondok kepada KH. Cholil pada Bangkalan, Madura. Sampai pada sana, ketika akan dikumandangkan iqamat, KH. Cholil tidak berkenan sebagai imam shalat seraya berkata: “Mestinya yang berhak sebagai imam shalat merupakan anak ini (yakni KH. M. Munawwir). Walaupun dia masih mungil tetapi pakar qira’at.”

Sewaktu awal di Tanah suci, beliau mengirimkan surat kepada ayahnya, menyatakan niat buat menghapalkan al-Quran. Namun ayah beliau belum memperkenankannya, sebagai akibatnya berniat mengirimkan surat balasan. Tetapi, belum sempat mengirimkan surat balasan, sang Ayah sudah mendapat surat ke 2 dari putranya yg menyatakan bahwa ia sudah terlanjur hafal. Dihafalkannya pada saat 70 hari (fakta lain menyatakan 40 hari).

Dan  masih poly lagi karomah KH. M. Munawwir yang lainnya.

Maqalah KH. M. Munawwir

1) Sebuah hadits riwayat Abi Hurairah Ra. Bahwa Nabi Muhammad Saw. Bersabda: “Wahai Abu Hurairah, pelajarilah al-Quran serta ajarkanlah pada orang lain. Tetaplah kamu mirip itu sampai tewas. Sesungguhnya bila kamu meninggal dalam keadaan mirip itu, malaikat berhaji ke kuburmu sebagaimana kaum mukminin berhaji ke Baitullah al-Haram.”

dua) Sebuah sya’ir: “seluruh ilmu termuat pada dalam al-Quran – Hanya saja orang-orang tidak mampu memahami semua kandungannya.”

3) “jika engkau  bermaksud akan sesuatu, maka bacalah surat Yasin.”

4) “jikalau mengaji al-Quran, maka kajilah hingga khatam, agar sebagai orang mulia.”

5) “waktu luang yang tidak digunakan untuk nderes al-Quran artinya kerugian yang akbar.

6) “selesainya seseorang hafal al-Quran, maka haruslah ia tidak senang omong kosong dan  tidak menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja mencari global.”

7) “Wahai putera dan  menantuku yang memiliki tanggungan al-Quran, jika kalian belum lancar benar maka jangan sampai merangkap apapun baik berdagang ataupun lainnya.”

8) “Orang hafal al-Quran berkewajiban memeliharanya, maka dari itu jangan melakukan hal-hal -termasuk menuntut ilmu- yg tidak fardhu, sekiranya bisa mengakibatkan hafalannya hilang.”

9) “jika kamu tak mengaji qira’at sab’ah kepadaku, maka mengajilah kepada Arwani Amin suci.”

10) “butir al-Quran adalah kebahagiaan global serta akhirat.”

11) beliau mengatakan pada KH. Basyir: “Marilah uzlah mirip aku , guna mengajarkan al-Quran. Kalau kita memikirkan harta dunia, maka akan binasalah al-Quran nanti.”

12) dia berkata pada putri dia, Nyai Hindun: “Orang hafal al-Quran, mengamalkan isi buku Majmu’ serta Mudzakarat, insya-Allah menjadi orang shalihah.”

13) beliau tidak mengijinkan santri-santrinya menjadi Pegawai Negeri Pemerintah Penjajah pada ketika itu.

14) beliau memberikan apa yang pernah diterima dari guru dia, KH. Cholil Bangkalan: “bila hidayah datang, permusuhan pun musnah. Jadilah engkau  bagaikan Air, dibutuhkan oleh siapa dan  apa saja. Jika tidak begitu, maka jadilah mirip Batu, tidak terdapat bahaya maupun manfaat (secara aktif –red). Janganlah engkau  laksana Kalajengking, siapa melihat maka dia pun takut.”

15) “Seyogyanya engkau  hadiahkan berkah surat al-Fatihah pada segenap kaum muslimin yg masih hayati, lebih-lebih diwaktu tertimpa marabahaya atau berperangai jelek, barangkali dapat menjadi obatnya. Sebagaimana guru saya KH. Cholil pernah mengajarkan (di nomor  16).”

16) dia menyampaikan apa yang disampaikan pengajar dia, KH. Cholil: “teman-sahabat sekalian, jikalau kamu menghadiahkan berkah surat al-Fatihah jangan hanya kepada muslimin yg telah meninggal saja, tetapi pula yang masih hidup, syukurlah Bila kepadaku juga. Karena Nabi Muhammad Saw. Pernah bersabda: ‘UDDA NAFSAKA MIN AHLIL QUBUUR (anggaplah dirimu termasuk ahli Qubur).”

17) “jika kamu memohon kepada Allah, maka mohonlah Kesejahteraan (‘Aafiyah).”

18) “Kelak pada akhir jaman, Shin akan menguasai seluruh wilayah.”

19) Sebuah sya’ir: “saya tidak bisa mendapatkan kembali apa yang telah meninggalkan diriku, baik menggunakan LAHFA (kalau), menggunakan LAITA (seandainya), ataupun menggunakan LAU-INNI (andaikan aku ).”

20) “Selama saya masih hidup, puteraku yg lelaki selalu saya suruh menggunakan kopyah. Sedangkan yg perempuan   segera saya carikan jodoh, tidak usah menunggu orang lain yg datang melamarnya.”

Wafat serta Penerus KH. M. Munawwir

Sebagaimana insan pada umumnya, KH. M. Munawwir menderita sakit selama 16 hari. Di mulanya terasa ringan, tetapi usang-kelamaan semakin parah. 3 hari terakhir saat dia sakit, dia tidak tidur.

Selama sakit, selalu berkumandanglah bacaan surat Yasin 41 kali yg dilantunkan sang rombongan-rombongan secara bergantian. Satu rombongan terselesaikan membaca, maka rombongan lain menyusulnya, demikian tidak terdapat putusnya.

Akhirnya, beliau KH. M. Munawwir wafat ba’da Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1942 M di kediaman dia di komplek Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Saat dia menghembuskan nafas terakhir, ditunggui sang seseorang putri dia, Nyai Jamalah, yakni ketika rombongan pembaca surat Yasin belum hadir.

Shalat Jenazah dilaksanakan bergiliran Karena banyaknya orang yang bertakziyyah. Imam shalat Jenazah kala itu adalah KH. Manshur (Popongan – Solo), KH. R. Asnawi (Bendan – kudus), serta besan dia KH. Ma’shum (Suditan – Lasem).

Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan pada Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar dua km dari kompleks Pesantren. Serta sepanjang jalan itulah, terlihat kaum muslimin asal banyak sekali golongan penuh sesak mengiring serta bermaksud mengangkat jenazah dia, hingga-hingga keranda jenazah dia relatif ‘dioperkan’ dari tangan ke tangan yang lain, sampai pada Pemakaman Dongkelan.

Jenazah KH. M. Munawwir dikebumikan di sana, dan  selama lebih dari seminggu pusara dia selalu penuh dengan penziarah dari banyak sekali wilayah buat membaca al-Quran.

Dia wafat meninggalkan Pesantren yang artinya tonggak pemisah suasana. Suasana sebelum dibangun pesantren, Krapyak dikenal sebagai daerah rawan, penuh kegelapan, abangan serta sedikit yg menjalankan ajaran Islam. Bersamaan menggunakan didirikannya Pesantren, poly pula usaha busuk berasal golongan-golongan Klenik yang dengki serta selalu merintangi perintisan Pesantren.

Namun upaya-upaya itu musnah, dan  suasana gelap beralih sebagai ramai dan  meriah menggunakan alunan Ayat-ayat kudus al-Quran dengan segala konsekuensinya.

Almarhum KH. M. Munawwir berwasiyat, supaya famili melanjutkan usaha Pesantren, tepatnya kepada dua orang putra serta 4 orang menantu. Tapi sebab beberapa udzur, perjuangan Pesantren dikawal secara pribadi sang 3 tokoh yg dikenal menjadi 3 Serangkai yakni;

1) KH. R. Abdullah Affandi (putra beliau berasal Nyai R.A. Mursyidah berasal Kraton Yogyakarta). Disamping menangani pengajian al-Quran, dia pula mengurusi korelasi Pesantren dengan dunia luar. Beliau wafat di 1 Januari 1968.

2) KH. R. Abdul Qadir (putra dia asal Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Pada tahun 1953, para santri penghafal al-Quran dikelompokkan menjadi satu pada sebuah wadah, yakni Madrasatul Huffadz yg disponsori sang KH. R. Abdul Qadir, dibantu KH. Mufid Mas’ud (menantu KH. M. Munawwir), Kyai Nawawi (menantu KH. M. Munawwir) serta Hasyim Yusuf berasal Nganjuk. Ada 2 sistem yang ditempuh pada Madrasatul Huffadz. Pertama, merupakan Sistem Perseorangan, yakni Kyai menurut pada santri untuk menghafalkan suatu ayat, surat maupun juz. Ke 2, adalah Sistem Jama’ah Mudarasah, yakni seorang santri disuruh menghafal suatu ayat, surat atau juz, kemudian membacanya lantas berhenti serta dilanjutkan oleh santri yg lain, demikian hingga khatam 30 juz. Buat mentashhih balik  hafalan santri-santri yg telah khatam, maka diharuskan melakukan ‘Ardhah secara Musyafahah sampai tiga kali khatam. Buat menguji kelancaran hafalan, artinya dengan dibacanya suatu ayat oleh Kyai dan  santri disuruh melanjutkannya. Begitu pula ditanyakan kepada santri ihwal letak ayat tersebut pada surat apa, page berapa, bagian mana, lembar kiri atau kanan, ayat nomor  berapa, sampai surat baru masih berapa ayat lagi. Mirip itulah seluk beluk menghafalkan al-Quran di Madrasatul Huffadz ketika itu. Setelah hafal seluruh al-Quran, maka selama 41 hari dilanjutkan Mudarasah (nderes) dengan mengkhatamkan 41 kali jua. KH. R. Abdul Qadir wafat pada dua Februari 1961.

3) KH. ‘Ali Ma’shum (menantu dia dari Lasem, suami berasal Nyai Hj. Hasyimah). Dia telah turut mengasuh Pesantren semenjak 1943. Dia adalah perintis serta pengasuh pengajian kitab  -buku selepas KH. M. Munawwir wafat, yakni semenjak kepulangan beliau dari Tanah suci pada rangka menimba ilmu. Dalam penyelenggarannya, dia menerapkan beberapa sistem, yakni Sistem Madrasi (Klasik) dan  Sistem Kuliyah, yang masing-masing dilengkapi menggunakan Pengajian Sorogan (individual). Adapun Pengajian Sorogan ini, dia berlakukan menggunakan contoh Semi-belajar sendiri, yakni dengan ditentukannya suatu buku sang KH. ‘Ali Ma’shum buat dikaji seseorang santri. Tiap sore hari, santri tersebut wajib  menghadap dia untuk membaca kitab  . Pada hal ini, santri harus berusaha mempelajarinya sendiri, baik dalam cara membaca juga menela’ah maknanya, baik menggunakan bertanya maupun berdiskusi dengan rekan dan  buku yg telah terdapat maknanya. Sedangkan KH. ‘Ali Ma’shum relatif menyimak bacaan santri sembari mengajukan beberapa pertanyaan, serta membenarkan Bila terdapat kesalahan membaca maupun tahu isinya. Dengan sistem ini, beliau maupun santri sudah banyak berhemat waktu serta menjadikan yang akan terjadi yg memuaskan lagi cermat. KH. ‘Ali Ma’shum wafat di 1989.

Demikianlah estafet kepemimpinan Pesantren terus bergulir, semakin berkembang seiring bertambahnya usia, baik dalam metode maupun corak Pesantren, namun tidak tanggal asal sentuhan khas salafiyahnya. Dan  tentunya, tetap berkonsentrasi pada misi awal yang dirintis sang Muassis (Pendiri), yakni membumikan al-Quran, memasyarakatkan al-Quran serta meng-al-Quran-kan rakyat.

Biografi ini disadur asal buku yg berjudul “MANAQIBUS SYAIKH: K.H.M. MOENAUWIR ALMARHUM: PENDIRI PESANTREN KRAPYAK YOGYAKARTA” yang diterbitkan oleh MAJLIS AHLEIN (keluarga akbar Bani Munawwir) Pesantren Krapyak, keluaran tahun 1975. Jadi Bila Anda ingin meng-COPYPASTE biografi dia ini, mohon SERTAKAN juga Sumbernya, yakni kitab   tadi.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

silahkan komentar