Biografi dan Pemikiran Imam Syafi’i – Imām al-Syāfi’i sebagai pendiri mazhab Syafi’i nama lengkapnya Muhammad bin Idris al-Syafi’i al-Quraisyi. Dilahirkan di desa Gazah Palestina pada tahun 150 H / 767 M. Dan ia wafat di Mesir pada tahun 204 H / 819 M. Silsilah ia dengan Nabi Muhammad bertemu pada datuk mereka, Abdul al-Manaf. Jelasnya adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas ibn ‘Abbas ibn ‘Usman Ibn Syāfi’i ibn al-Syu’aib ibn ‘Ubaid ibn Ali Yazid ibn Hasyim ibn Mutalib ibn Abdul al-Manaf datuk Nabi Muhammad S.A.W.[1]
Syafi’i ibn as-Syua’ib adalah yang menjadi nisbat al-Syafi’i Ibnu al-Syua’ib bertemu Nabi pada masa kecilnya dan ayahnya masuk Islam pada saat perang Badar.[2] Jadi Imam al-Syafi’i adalah keturunan Quraisy, tetapi ibunya bukan dari keturunan Quraisy tetapi berasal dari suku ‘Ad (dari Yaman), bukan keturunan ‘Alawiyyah.[3]
Sejak dilahirkan Imām al-Syāfi’i sudah menjadi yatim, pengasuhan dan bimbingan waktu kecil adalah di bawah sang ibu. Sejak kecil Imam al-Syafi’i sudah menampakkan kecintaan dan kecerdasannya. Hal ini terlihat dengan kemampuannya menghafal al-Qur’an sejak usia 7 tahun, proses belajar pertama ia pergi ke daerah Huzail (pedalaman) yang mana merupakan tempat orang-orang yang paling ahli dalam bahasa Arab. Imām al-Syāfi’i menimba ilmu dengan berbagai guru, baik yang berkaitan dengan syi’ir-syi’ir, tata bahasa maupun sastra-sastra Arab. Maka tak heran dia sangat ahli dalam kebahasaan ‘Arab.[4]
Ketika umur Imām al-Syāfi’i mencapai 2 tahun, ibunya membawa ke Hijaz dan keqabilahnya yaitu penduduk Yaman, karena ibunya Fatimah merupakan keturunan dari suku Azdiyah dan tinggal di suku tersebut. Akan tetapi ketika umurnya mendekati usia 10 tahun, ibunya khawatir kalau nasab anaknya yang mulia dari suku Quraisy akan dilupakan dan dihilangkannya, sehingga ibunya membawa al-Syafi’i ke Mekkah. Perpindahan ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu:
1. Mekkah adalah tanah kelahiran bapak dan nenek moyang Imam al-Syafi’i. Maka ibunya ingin anaknya dibesarkan diantara keluarga ayahnya yang mempunyai kedudukan sosial yang terpandang dan mendapat berbagai fasilitas dari Bait al-Mal, karena administrasi pemerintahan pada waktu itu memang menyediakan tunjangan khusus bagi segenap anggota keluarga Quraisy dari keturunan Hasyim dan Mutalib yaitu keluarga dekat Nabi s.a.w.
2. Karena kota Mekkah merupakan tempat ‘ulama, fuqaha’, syu’ara dan udaba’ sehingga Imām al-Syāfi’i dapat berkembang dalam bahasa Arab yang murni dan mengambil cabang-cabang keilmuan yang dikehendaki. Walaupun Yaman dan Palestina itu lebih utama bagi ibunya karena daerah kaumnya yaitu Azdiyah.[5]
Pendidikan, Pengembaraan dan Karir Imam syafi’i
Imām al-Syāfi’i memulai kegiatannya menuntut ilmu sejak masa kecilya di Mekkah. Walaupun ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu dalam asuhan ibunya serta hidup dalam kekurangan dan kesempitan, akan tetapi semangat untuk menuntut ilmunya tidak pudar. Si ibu, Fatimah, mengirimkan al-Syafi’i untuk belajar ke Kuttab (semacam taman kanak-kanak). Dengan kemaunnya yang keras dan dorongan dari ibunya, ia mendatangi para ulama dan menulis apa yang bermanfaat mengenai hal-hal yang penting.[6]
Dari pengembaraan ilmiah yang telah dilakukan Imām al-Syāfi’i dapat mengenal berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ‘ulama’, mulai pemikiran ‘ulama’ yang didasarkan pada hadis maupun ra’yu, tetapi ia banyak dipengaruhi oleh corak pemikiran Irak yang dijadikan dasar pengembangan mazhabnya pertama kali di Mekkah, yaitu dengan mengaktifkan kembali halaqah di Masjid al-Haram.[7]
Untuk pendalaman hadis Imām al-Syāfi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik bin Anas. Ia mampu menyelesaikan pendidikan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan kemampuan menghafal kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik yang dibaca dengan di depan sang guru, hal ini membuat kekaguman tersendiri bagi Imam Malik.[8]
Karena merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, Imam al-Syafi’i kemudian pergi ke Irak, untuk memperdalam lagi ilmu fiqh, kepada para murid Imam Abu Hanifah yang masih ada, dalam perantauannya tersebut, ia sempat mengunjungi Persia dan beberapa tempat lain.[9] Pada waktu itu ia menyusun kitab usul fiqh yang pertama dalam Islam yaitu “al-Risalah”.
Sebagai pecinta ilmu, Imām al-Syāfi’i mempunyai banyak guru, begitu banyaknya guru Imam Syafi’i sehingga Imam ibn Hajar al-Asqalani menyusun satu buku khusus yang bernama Tawali al-Tasib yang di dalamnya disebut nama-nama ‘ulama’ yang pernah menjadi guru Imam Syafi’i, antara lain: Imam Muslim bin Kholid, Imam Ibrahim in Sa’id, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin Anas, Imam Ibrahim bin Muhammad, Imam Yahya bin Hasan, Imam Waqi’, Imam Fudail bin Iyad.[10]
Aktivitas dibidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan menjadi asisten Imam Malik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun. Sebagai ‘ulama’ fiqh namanya mulai dikenal, muridnya pun berdatangan dari berbagai penjuru wilayah Islam. Selain sebagai ulama fiqh iapun dikenal sebagai ‘ulama’ ahli hadis, tafsir, bahasa dan sastra Arab, ilmu falak, ilmu usul dan ilmu tarikh.[11]
Imām al-Syāfi’i digelari Nasir al-Sunnah artinya pembela Sunnah atau Hadis. Karena sangat menjunjung tinggi Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Sebagaimana ia sangat memuliakan para ahli hadis. ‘Ulama’ besar Abdul Halim al-Jundi, menulis buku dengan judul, al-Imām al-Syāfi’i, Nasir al-Sunnah wa wadi’ al-Usul. Di dalamnya diuraikan secara rinci bagaimana sikap dan pembelaan Imām al-Syāfi’i terhadap Sunnah. Intinya adalah bahwa Imām al-Syāfi’i sangat mengutamakan Sunnah Nabi s.a.w. dalam melandasi pendapat-pendapat dan ijtihadnya. Karena itu ia sangat berhati-hati dalam menggunakan qiyas.
Menurut al-Imām al-Syāfi’i, qiyas hanya dapat digunakan dalam keadaan terpaksa yaitu dalam masalah mu’amalah (kemasyarakatan) yang tidak didapati nasnya secara pasti dan jelas di dalam al-Qur’an atau Hadis sahih atau tidak dijumpai dalam ijma’ sahabat. Qiyas sama sekali tidak dibenarkan dalam urusan ibadah. Dalam penggunaan qiyas, Imām al-Syāfi’i menegaskan bahwa harus diperhatikan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah yang telah ada.[12]
Imām al-Syāfi’i tinggal di Baghdad selama 2 tahun, atas wewenang yang telah diberikan kepadanya oleh sang guru Muslim bin Khalid, seorang ‘ulama’ besar yang menjadi mufti di Mekkah. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa selama tinggal di Baghdad, pendapat-pendapat Imām al-Syāfi’i yang difatwakan tersebut dinamakan dengan qaul qadim. Ketika itu pengaruh mazhab Syafi’i mulai tersebar luas dikalangan masyarakat, kemudian untuk sementara waktu dia terpaksa pergi meninggalkan Baghdad menuju Makkah untuk memenuhi panggilan hati yang masih haus ilmu pengetahuan.[13]
Baca Juga: Perkembangan Mazhab Fikih dalam Islam
Pada tahun 198 H. Imam al-Syafi`i kembali ke Baghdad untuk merawat dan mengembangkan benih-benih mazhab yang telah ditebarkan, pada saat itulah pengaruhnya mengalami perkembangan pesat. Hampir tidak ada lapisan masyarakat Baghdad yang tidak tersentuh oleh roda pemikirannya, dan diantara pilar-pilar pendukung mazhab Syafi’i yang masyhur adalah Ahmad bin Hambal (pendiri mazhab Hambali) al-Zafarani, Abu Sur, al-Karabisi, 4 orang inilah yang tercatat sebagai periwayat qaul qadim yang tertuang dalam kitab al-Hujjah.[14]
Kemudian Imam al-Syafi’i merasa terpanggil untuk memperluas lagi mazhabnya,[15] dengan berbekal semangat dan tekad dia mengembara ke negeri Mesir, disana Imām al-Syāfi’i meneliti dan menelaah lebih dalam lagi ketetapan fatwa-fatwa ia selama di Baghdad, kemudian muncullah rumusan-rumusan baru yang kemudian terkenal dengan istilah qaul jadid yang tertulis dalam kitab al-Umm, al-Imla, Mukhtasar Muzanni dan al-Buwaiti. Diantara pendukung dan periwayat qaul jadid yang terkenal adalah: al-Buwaiti, al-Rabi’ al-Jaizi, al-Muradi, al-Harmalah dan ‘Abdullah bin al-Zubair al-Makki.[16]
Guru dan Murid Imam syafi’i
Imam al-Syafi’i pada masa mudanya, waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pengetahuan di markas-markas ilmu pengetahuan, seperti di kota Mekkah, Madinah, Kufah, Syam dan Mesir. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk mempelajari ilmu tafsir, fiqh, hadis kepada guru-guru yang banyak tersebar di berbagai pelosok negerinya.
Guru-gurunya yang masyhur antara lain:
1. di Mekkah
a. Muslim bin Khalid al-Zanji
b. Ismail bin Qastantin
c. Sufyan bin Uyainah
d. Sa’ad bin Abi Salim al-Qaddah
e. Dawud bin Abd. al-Rahman al-Atur
f. Abd. al-Hamid bin abd. Aziz
2. di Madinah
a. Imam Malik bin Anas
b. Ibrahin bin Sa’ad al-Ansari
c. Abd. al-Azzi bin Muhammad al-Darudi
d. Ibrahim bin Abi Yahya al-Aswamiy
e. Muhammad bin Sa’id
f. Abdullah bin Nafi’
3. di Yaman
a. Matraf bin Mazin
b. Hisyam bin Abu Yusuf
c. ‘Umar bin Abi Salamah
d. Yahya bin Hasan
4. di Iraq
a. Waqi’ bin Jannah
b. Hamad bin Usamah
c. Isma’il bin Ulyah
d. Abd. al-Wahab bin Abd. al-Majid
e. Muhammad bin Hasan
f. Qadi bin Yusuf.[17]
Guru-guru tersebut di atas adalah dari berbagai aliran. Misalnya Sufyan bin Uyainah di Mekkah dan Imam Malik bin Anas adalah golongan ahli hadis, di Irak Ia berguru pada golongan dari ahli ra’yi, aliran Imam Hanafi dan di Yaman golongan fiqh aliran mazhab al-Auza’i. Karena bermacam-macam aliran itulah, maka Imam Syafi’i terkenal sebagai imam yang sangat hati-hati dalam menentukan hukum serta ia terkenal sebagai ahli qiyas. Abdul Karim Zaidan menyatakan:
Imam al-Syafi’i melakukan kajian tentang mazhab-mazhab terkenal pada masanya dengan kajian verifikasi, kritis dan membuat perbandingan. Ia pada masa mudanya mengkaji fiqh ahli Mekkah dari Muslim bin Khalid dan lainnya, kemudian mendalaminya kepada Malik bin Anas dan ahli fiqh Madinah hingga ia diperhitungkan termasuk murid Imam Malik dan pengikut madrasah Madinah dan masyhur dengan pensifatan ini hingga ia datang ke Bagdad pertama kali dan mengkaji fiqh Abu Hanifah dan mazhab dari jalur Muhammad bin al-Hasan. Dan karenanya, ia menyimpulkan fiqh Hijaz dan fiqh Irak. Maka ketika pulang ke Mekkah ia mengkaji dengan mendalam dan merenungkannya. Dari sini kelihatan kepribadian Imam al-Syafi’i dengan fiqh yang baru yaitu sintesis dari fiqh ahli Iraq dan ahli Hijaz dan mulai membedah dengan mazhab khusus.[18]
Adapun murid-murid Imam al-Syafi’i tersebar di berbagai negeri, di Mekkah ada Abu Bakar al-Humaidi, Ibrahim bin Muhammad al-‘Abbas, Abu Bakar Muhammad bin Idris, Musa bin Abi al-Jarud, kemudian di Bagdad, diantara muridnya adalah Hasan al-Sa’bah al-Za’farani, al-Husain bin Ali al-Karabisiy, Abu Tur al-Kulbiy dan Ahmad bin Muhammad. Sedangkan di Mesir di antara muridnya adalah al-Buwaiti, Ismail, Muzanni, Muhammad bin ‘Abdullah bin Abd. al-Hakam dan al-Rabi’ bin Sulaiman.[19] Adapun ulama-ulama masyhur yang banyak meriwayatkan hadis-hadisnya diantaranya:
1) Ahmad bin Khalid al-Khallal yaitu Abu Bakar Ja’far al-Bagdadiy. Hadis-hadisnya banyak meriwayatkan al-Nasa’i dan al-Turmuzi.
2) Ahmad bin Sinan bin As’ad bin Hibban al-Qatatan, hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah.
3) Ahmad bin Salih al-Misri, laqabnya Abu Ja’far al–Tabari, al-Hafiz, hadis-hadisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Abu Daud.
4) Ahmad bin Hambal, penyusun kitab Musnad Ahmad bin Hambal dan pendiri mazhab Hambali.
5) Ibrahim bin Khalid bin al-Yaman abu Sur al-Kalbiy al-Bagdadiy. Hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Abu Qasim al-Bagawiy.
6) Isma’il bin Yahya bin Isma’il dengan laqab al-A’immah al-Jalil Abu Ibrahim al-Muzanniy, ‘ulama’ besar yang banyak menyusun naskah dan fatwa Imām al-Syāfi’i dan juga mneyusun hadis beserta sanadnya.
7) Bahr bin Nasr ibnu Sabiq al-Khuzaimiy yang memperdalam masalah ikhtilaf hadis dari Imām al-Syāfi’i.
8) Al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradiy. Ia adalah murid utama Imām al-Syāfi’i di Mesir yang meriwayatkan kitab-kitabnya termasuk menyusun musnad al-Syafi’i, hadisnya banyak diriwayatkan oleh Abu Daud, al-Nasa’iy, Ibnu Majah, dan Abu Zur’ah.
9) Harmalah bin Yahya bin ‘Abdullah, hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Nasa’i dan Ibnu Majah.[20]
Pemikiran Mazhab Syafi'iKarya Ilmiah Imam syafi’i
Sebagai seorang ilmuwan yang multi disipliner, Imam al-Syafi’i memiliki karya ilmiah yang sangat banyak. Menurut riwayat Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Muhammad al-Marwaziy – seperti yang dikutip al-Nawawi – bahwa karya ilmiah Imam al-Syafi’i mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqh, kesusastraan ‘arab dan lainnya.[21] Metode Imam al-Syafi’i dalam mengarang buku itu ada yang langsung ditulis oleh ia sendiri ataupun dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan Imam al-Syafi’i mulai menulis pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikirannya. Apakah ketika ia berada di Mekkah atau ketika berada di Bagdad. Menurut riwayat yang masyhur ia mulai menulis karyanya ketika di Mekkah sebelum datang ke Iraq untuk yang kedua kalinya. Karya-karyanya terkenal dengan materi yang luas dan analisa yang dalam khususnya al-Risalah dan al-Umm. Kitab-kitab karya itu antara lain:
1. Kitab al-Risalah
Al-Risalah, suatu kitab yang khusus membahas tentang usul fiqh dan merupakan buku pertama yang ditulis ‘ulama’ dalam bidang usul fiqh. Kitab ini disusun dua kali, Pertama ketika Imam al-Syafi’i ada di Baghdad yang kemudian dikenal dengan al-Risalah al-Qodimah, yang kedua ketika ia berada di Mesir dikenal dengan al-Risalah al-Jadidah. Namun yang sampai kepada kita sekarang adalah risalah yang kedua.[22]
Imām al-Syāfi’i tidak memberikan nama kitab tersebut dengan al-Risalah., ia hanya menyebutnya dengan al-Kitab (kitab ini), kitabiy (kitabku) dan kitabuna (kitab kami). Kitab ini dinamai al-Risalah karena kitab ini dikirimkan oleh Imām al-Syāfi’i dari Baghdad kepada Abd. al-Rahman bin Mahdi yang berada di Mekkah.[23]
Kitab al-Risalah al-Qadimah ditulis oleh Imām al-Syāfi’i di Mekkah dan baru disempurnakan ketika di Baghdad kemudian dikirimkan oleh Ibnu al-Mahdi.[24] Dan ketika ia berada di Mesir, ia menyusun lagi kitab al-Risalah ini dengan hafalan atas dasar al-Risalah al-Qodimah yang merupakan al-Risalah yang ada sampai sekarang. Oleh karenanya disebut al-Risalah al-Jadidah (kitab risalah yang baru).[25]
2. Kitab al-Hujjah
Kitab al-Hujjah termasuk dalam qoul qodim dalam bidang fiqh dan furu’, karena disusun oleh Imām al-Syāfi’i ketika di Bagdad. Isi kitab ini secara umum ditujukan untuk menanggapi pendapat yang dikemukakan oleh ulama Iraq khususnya pendapat Muhammad bin al-Hasan.[26]
Dalam kitab kasyf al-Zunun dikatakan bahwa al-Hujjah karya Imam al-Syafi’i merupakan kitab yang besar disusun ketika ia berada di Iraq. Jika dikatakan pendapat yang lama dari mazhabnya maka maksudnya adalah karya ini.
3. Kitab al-Mabsut
Al-Mabsut adalah kitab fiqh karya Imām al-Syāfi’i yang diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin Sulaiman dan al-Za`faraniy.[27] Namun, Para ‘ulama’ berbeda pendapat tentang apakah al-Mabsut ini merupakan kitab al-Hujjah yang diriwayatkan oleh al-Za`faraniy dari Imam al-Syafi`i di Baghdad ataukah merupakan kitab al-Umm yang diriwayatkan al-Rabi’ dari Imam al-Syafi`i di Mesir atau merupakan kitab lain yang berbeda dari keduanya. Menurut pendapat Imam al-Sayid bin Muhammad bin al-Sayid Ja’far al-Kattaniy bahwa kitab al-Mabsuth bukan kitab al-Hujjah ataupun al-Umm akan tetapi kitab tersendiri dari Imām al-Syāfi’i.[28]
4. Kitab al-Musnad
Kitab musnad al-Syafi`i merupakan kitab yang berisi riwayat hadis-hadis al-Syafi`i, sistem penyusunan dan pembahasan kitab ini adalah menurut sistematika kitab-kitab fiqh yakni secara berurutan, diawali dengan masalah ‘ibadah, kemudian munakahah, kemudian masalah jihad, kemudian masalah qada’ dan jinayah. Di sana terdapat beberapa hadis yang diselipkan di antara masalah tersebut. Terdiri dari 66 bab dengan istilah “kitab”. Kitab ini jika dibandingkan dengan musnad Ahmad bin Hambal, jumlah hadisnya lebih sedikit, tetapi jika dibandingkan dengan musnad al-Hanafi maka hadisnya lebih banyak. Kitab ini termasuk kitab yang diperhatikan ‘ulama’ hadis pada abad kedua Hijriah dan merupakan kitab hadis pertama yang sampai kepada kita yang menggunakan “mi’yar” ilmu hadis.[29]
5. Kitab al-Umm
Kitab al-Umm merupakan kitab yang berisi masalah-masalah fiqih yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imām al-Syāfi’i yang terdapat dalam kitab al-Risalah. Kitab al-Umm ini diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradiy. Kitab ini terdiri dari 7 jilid dan telah dimasukkan di dalamnya beberapa karangan Imam Syafi’i yang lain yaitu:
a. Kitab Jami’ al-‘Ilm berisi pembelaan Imām al-Syāfi’i terhadap sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Dan kitab Ibhal al-Istihsan berisi bantahan ia terhadap penggunaan istihsan sebagai dasar hujjah.
b. Kitab al-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan, yang berisi bantahan ia terhadap pendapat Muhammad bin Hasan tentang pendapat ‘ulama’ Madinah sebagai dasar hukum.
c. Kitab Siyar al-Auza’i, yang berisi pembelaan ia terhadap pembahasan Imam Auza’i.[30]
silahkan komentar